Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

#BERITALITERASI #BERBAGIFAKTA #BERBAGIILMU

SKANDAL PAJAK TOKOH PUBLIK: Ujian Keadilan Hukum dan Guncangan Kepatuhan Wajib Pajak

Oleh: Yunita - Mahasiswa Program Studi Pendidkan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Sosial dan Ekonomi Universitas Linggabuana PGRI Sukabumi

PERADMA.NET – Serangkaian kasus pajak yang menyeret nama-nama besar—mulai dari artis papan atas, pejabat berwenang, hingga pengusaha raksasa—kian marak menjadi sorotan publik. Fenomena ini bukan sekadar persoalan hukum finansial, melainkan sebuah ujian terhadap rasa keadilan dan integritas sistem perpajakan negara.

Publik mulai mempertanyakan: jika figur yang seharusnya menjadi teladan justru terlibat manipulasi pajak, mengapa masyarakat biasa harus patuh?

Peningkatan Pengawasan dan Isu Tebang Pilih

Data dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menunjukkan bahwa pengawasan terhadap Wajib Pajak (WP) berprofil tinggi memang ditingkatkan. Sejak tahun 2023 hingga 2025, jumlah pemeriksaan terhadap WP High Net Worth Individuals (HNWI) dan entitas besar dilaporkan meningkat sekitar 35%. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah mulai serius membidik potensi kebocoran pajak dari kalangan elit.

Namun, peningkatan pengawasan ini sering dibayangi oleh persepsi penegakan hukum yang "tebang pilih." Masyarakat melihat adanya celah bagi para tokoh publik dengan jabatan atau koneksi kuat untuk mendapatkan perlakuan khusus, sementara UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) secara tegas mewajibkan kepatuhan bagi setiap warga negara, sesuai amanat Pasal 23A UUD 1945.

Hukum dan Sanksi: Pasal 39 UU KUP jelas menyebutkan bahwa pihak yang sengaja tidak melaporkan atau memberikan data palsu dapat dipidana hingga enam tahun penjara dan denda empat kali lipat dari pajak yang tidak dibayar. Namun, implementasi sanksi berat ini kerap terasa melunak di hadapan tokoh terkenal.

Dampak Sosial: Menurunnya Kepercayaan Publik

Kasus pajak yang melibatkan figur sentral memiliki dampak sosial yang destruktif. Kepercayaan masyarakat terhadap sistem pajak rusak karena melihat adanya inkonsistensi penegakan hukum.

Survei yang dirilis Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2024 mengungkapkan kekhawatiran yang mendalam:

  • 47% responden menilai penegakan hukum pajak di Indonesia masih diskriminatif atau tebang pilih.

  • Hanya 28% responden yang menyatakan percaya bahwa hukum pajak dijalankan secara adil.

Skeptisisme ini menciptakan budaya apatis, bahkan mendorong munculnya pemikiran bahwa, "Jika orang besar bisa menghindar, mengapa kita harus membayar?" Jika dibiarkan, apatisme ini akan menjadi ancaman nyata terhadap basis penerimaan pajak negara, yang notabene adalah tulang punggung pembiayaan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.

Desakan Keadilan: Tokoh Publik Harus Jadi Teladan

Pemerintah melalui DJP sebenarnya telah meluncurkan berbagai program perbaikan, seperti Program Pengungkapan Sukarela (PPS), pengembangan sistem inti administrasi perpajakan (Coretax 3.0), dan kerja sama data pajak internasional (AEOI).

Namun, semua upaya sistematis ini akan sia-sia jika tidak ditopang oleh fondasi kepercayaan publik.

Tuntutan saat ini sangat jelas:

  1. Penegakan Hukum Tanpa Pandang Bulu: Hukuman harus diterapkan secara transparan dan tegas, tanpa memandang status sosial atau jabatan publik WP.

  2. Keteladanan Publik: Tokoh publik memiliki social leverage yang masif. Kepatuhan pajak mereka adalah bentuk edukasi non-verbal yang jauh lebih efektif daripada sekadar imbauan atau sosialisasi formal. Kejujuran mereka adalah kunci pemulihan citra.

Penutup: Mengembalikan Kepercayaan Lewat Transparansi

Pada akhirnya, kasus pajak tokoh publik adalah persoalan etika dan keadilan yang melampaui angka-angka akuntansi. Kepatuhan pajak yang kuat tidak akan pernah tumbuh dari rasa takut akan sanksi, melainkan dari keyakinan penuh bahwa setiap rupiah pajak akan dikelola secara jujur dan bahwa hukum berlaku setara bagi semua orang.

Pemerintah dituntut untuk membuktikan bahwa di Indonesia, keadilan pajak tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas.


Artikel ini disarikan dari hasil kajian Mahasiswi Yunita Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Linggabuana PGRI Sukabumi.