Jebakan Keadilan Pajak: Benarkah Hukum Kita Hanya Ramah Korporasi?
Oleh: Redaksi Opini Berangkat dari pandangan: Novita Nurjanah Dwi Salyati, Mahasiswa Universitas Linggabuana PGRI Sukabumi
SUKABUMI – Bayangkan dua dunia: di satu sisi, seorang pedagang kecil di pasar tradisional yang berpeluh setiap hari, patuh membayar PPh dari laba pas-pasan. Di sisi lain, sebuah korporasi raksasa, dengan laba triliunan, namun lihai "mengoptimalkan" beban pajaknya hingga tersisa remah-remah.
Ketimpangan ini, yang disebut jebakan keadilan pajak, bukan sekadar drama fiksi. Ini adalah realitas yang diangkat tajam oleh Novita Nurjanah Dwi Salyati, seorang mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, yang mempertanyakan: Apakah hukum pajak kita hari ini dirancang sebagai benteng korporasi, sementara rakyat kecil terjebak dalam sistem yang tidak adil?
Lubang Hukum untuk Raksasa
Secara harfiah, Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) di Indonesia seharusnya berlaku adil bagi semua. Namun, Salyati menunjuk pada fakta bahwa korporasi besar memiliki akses eksklusif ke apa yang disebut “tax loopholes”—lubang-lubang kecil dalam aturan yang secara legal memungkinkan mereka mengeruk beban pajak.
Skema transfer pricing, di mana perusahaan multinasional memindahkan laba ke yurisdiksi dengan tarif pajak super-rendah, adalah contoh klasik. Fenomena ini, yang kerap diulas dalam laporan investigasi global, menunjukkan bahwa raksasa teknologi atau perusahaan konglomerat bisa beroperasi dengan kontribusi pajak yang jauh di bawah proporsi laba mereka.
Ironisnya, Salyati menyoroti bagaimana sistem insentif pajak, seperti tax holiday atau keringanan di zona ekonomi khusus—yang tujuannya mulia untuk pertumbuhan ekonomi—justru menciptakan ketimpangan nyata. Sementara Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) lokal harus membayar penuh, korporasi besar menikmati keistimewaan bertahun-tahun.
"Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa penerimaan pajak dari korporasi besar sering kali lebih rendah proporsinya dibandingkan kontribusi mereka terhadap PDB," tulis Salyati. Ini berarti, korporasi besar menikmati infrastruktur dan stabilitas negara tanpa berkontribusi secara sebanding.
Dampak Sosial: Bukan Sekadar Angka
Ketidakadilan pajak ini jauh melampaui neraca keuangan. Dampaknya terasa langsung pada masyarakat, menciptakan frustrasi dan ketidakpercayaan terhadap sistem negara. Salyati melukiskan kontras menyakitkan: buruh harian yang gajinya dipotong pajak, berhadapan dengan CEO perusahaan besar yang menghindari pajak dengan cara-cara "cerdas."
Uang pajak yang "hilang" ini seharusnya menjadi sumber vital untuk pembangunan, seperti sektor kesehatan dan pendidikan. "Bayangkan jika pajak yang 'hilang' itu bisa digunakan untuk memperbaiki jalan rusak atau membangun sekolah di daerah terpencil—itu bisa mengubah hidup jutaan orang," ia menegaskan, menyoroti dimensi moral dan kesejahteraan publik dari isu ini.
Solusi Revolusioner: Transparansi Digital dan Pajak Solidaritas
Namun, Salyati tidak berhenti pada kritik. Ia menawarkan perspektif solusi yang revolusioner: mengubah pendekatan hukum pajak. Solusinya bukan hanya pengetatan aturan, melainkan reformasi berbasis teknologi dan keadilan progresif.
Ia menyarankan adopsi teknologi seperti blockchain untuk transparansi pajak. Sistem di mana setiap transaksi korporasi tercatat real-time akan mempersulit praktik penyembunyian laba. Ia mencontohkan Estonia yang sudah sukses dengan sistem pajak digitalnya.
Lebih lanjut, Salyati mendorong agar pemerintah mempertimbangkan kembali tarif pajak progresif. Saat ini, tarif PPh individu naik seiring penghasilan, namun tarif PPh korporasi cenderung flat. Ia mengusulkan penerapan model "pajak solidaritas", di mana korporasi dengan laba superbesar dikenai pajak tambahan.
Terakhir, dan tak kalah penting, adalah pendidikan pajak yang masif. Pendidikan ini harus menjangkau bukan hanya akuntan korporasi, tetapi juga pedagang kecil, mengajarkan mereka cara memanfaatkan keringanan yang tersedia sehingga tidak lagi merasa terperangkap atau tertipu oleh sistem.
"Hukum pajak kita memang terjebak dalam jebakan keadilan yang lebih menguntungkan korporasi. Tapi, ini bukan takdir," pungkas Salyati.
Jebakan keadilan pajak hanya bisa dipatahkan dengan inovasi, transparansi, dan keberanian politik untuk reformasi. Ini bukan hanya soal mengumpulkan uang, tetapi tentang membangun kembali kepercayaan masyarakat pada negara, di mana kontribusi didasarkan pada kemampuan, baik bagi pedagang kecil maupun raksasa bisnis.