Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

#BERITALITERASI #BERBAGIFAKTA #BERBAGIILMU

Belajar Sejarah dari Sepiring Pecel: Ulasan Buku Rahasia Salinem

 

Foto Relawan Pustakawan di PRTB mengulas Buku Salinem

Identitas Buku

Judul                    : RAHASIA SALINEM

Penulis                 : Wisnu Suryaning Aji & Brilliant Yotenega 

Cetakan Pertama: Mei 2024 

Cetakan Kedua    : Juli 2024 

Cetakan Ketiga    : Desember 2024 

Penerbit                : PT Bentang Pustaka. Anggota IKAPI -Jl Pesanggrahan No. 8 RT/RW: 04/36,                                             Sanggrahan, Wedomartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta -55584. 

ISBN                     : 978-623-186-354-6

Pecel: Menu Penting dalam Cerita Rahasia Salinem

Oleh: Muzi

“Sejarah harus mengangkat kemanusiaan tinggi-tinggi karena politik berdiri di atas kepentingan. Sejarah bisa kalah lawan politik.” - Mbah Parjo, kakek Gendis, mantan prajurit yang melawan Jepang sekaligus Belanda bersama sekutunya.

Buku Rahasia Salinem bukan hanya menguak cerita tentang Salinem, seorang perempuan pribumi yang ditakdirkan hidup sejak kecil bersama kaum bangsawan Belanda. Takdir membawanya tumbuh bersahabat dengan dua anak gadis Belanda yang melepaskan keangkuhan mereka sebagai 'penjajah'. Ayah mereka ditunjuk sebagai Wedana—pembantu Bupati di Era Kolonial Belanda. Sudut pandang penulis membuat saya melihat orang Belanda dari sisi lain, sebagai manusia yang memiliki hati nurani, jauh dari doktrin mereka sebagai penjajah.

Alur cerita maju-mundur membuat naskah buku ini terasa bernapas bagi pembaca. Ada 36 bagian yang setiap bagiannya tidak melepaskan Salinem sebagai fokus utama.

36 bagian itu—mulai dari Bengawan Solo, Pesta Pecel, Pindah Tangan, hingga Pembaca Tanda—nyaris menjadi kliping peristiwa penting di Era Kolonial, Pra-Kemerdekaan, Orde Lama, dan Orde Baru. Jiwa Salinem hidup, tidak hanya sebagai cerita, tetapi juga memutar memori di mana manusia dapat dibaca sebagai catatan kehidupan dalam balutan setiap peristiwa penting.

Bagian paling menarik adalah pertanyaan awal yang muncul ketika Tyo penasaran dengan resep pecel Mbah Salinem. “Pecel bisa membuat orang menangis sekeras itu,” ucap Tyo di halaman 35. "Bulik Ning tidak pandai lagi membuat Pecel, seperti biasanya," dalam bagian Sandal Teklek, Februari 2013.

Surakarta menjadi latar tempat utama dalam cerita ini, meskipun beberapa daerah di Jawa Timur, khususnya Surabaya, juga disinggung. Siapa Salinem? Sebuah pertanyaan yang muncul setelah tubuhnya dikuburkan di Kota Solo.


Iklan Shopee

Klik Gambar untuk lanjut ke shopee

Iklan Shopee
Klik Gambar untuk lanjut ke shopee

Iklan Shopee
Klik Gambar untuk lanjut ke shopee

Tahun 1923 di Stasiun Klaten menjadi pembuka cerita di bagian Bengawan Solo. Lalu di Sukoharjo 1925, Salinem kecil yang berusia sekitar 3 tahun selalu mengikuti bibinya, Daliyem, seorang pedagang pecel di Pasar Sukoharjo. Ibunya meninggal saat melahirkan, dan ayahnya menyusul wafat saat ia berusia lima tahun.

Salinem diasuh Daliyem dan terus berpindah tangan hingga akhirnya dijaga oleh Abdi Dalem di rumah Gusti Wedana. Di sana ia bertemu Soeratmi dan kemudian Kartinah, yang menjadi sahabatnya hingga ia lekat dengan keluarga bangsawan yang merakyat.

Dari Soeratmi, Salinem pindah ke Kartinah, sahabatnya yang saat itu menikah dengan Soekatmo, kakak kandung Soeratmi. Ia menjaga keluarga Kartinah dan Soekatmo, dalam suka maupun duka. Hingga akhir hayatnya, Salinem tidak menikah dan memaknai 'cinta' sebagai hidup bersama dengan anak-anak Kartinah.

Kisah cinta Salinem yang cukup getir menjadi puitis sekaligus penyeimbang konflik yang maju-mundur dalam pencarian resep pecel oleh Tyo. Barangkali setiap manusia memiliki kisah cinta tragis yang berujung pada hidup yang metafora, seperti tokoh dalam cerita ini.

Kematian Mbah Salinem menjadi tanda seru dalam benak Tyo, cucu kesayangan Mbah Salinem. Penulis membuat konflik yang saling tarik-menarik dari topik makanan, pecel. Sesuatu yang justru bukan dipicu dari kehadiran Salinem di garis keluarga bangsawan sebagai 'abdi dalem'.

Betapapun harkat dan martabat melekat pada diri manusia, makanan selalu menjadi penanda dan penghubung cerita, bahkan bisa menjadi malapetaka. Sejak sejarah mencatat Homo Sapiens, makanan bukan hanya sumber konflik, melainkan dari sana segala catatan kehidupan bisa diurai, memperlihatkan betapa manusia sangat lemah sekaligus memiliki arti.

Sisi lain yang menarik bagi saya sebagai pembaca, yang dulu pernah tinggal lama di Tuban—Jawa Timur, adalah pemahaman tentang jenis makanan. Ada bagian dari buku ini yang mengungkap asal-usul mengapa orang Jawa bisa makan apa saja, asalkan tidak beracun. Perang yang berkepanjangan membuat makanan sulit didapatkan. Salinem dan Kartinah tidak hanya makan Polo Pendem dan sayur-sayuran, tetapi juga keong sawah, tikus, dan lain-lain yang bisa dimakan untuk menyambung hidup.

Polo Pendem dan keong sawah adalah jenis makanan yang hampir saya gemari saat menetap di Tuban. Pras dan Noven, dua kawan pertama, memperkenalkan cara mengolah keong sawah menjadi tumisan paling sedap disantap dengan nasi hangat. Namun, jika tidak pandai mengolahnya, bisa keracunan. Begitu pula Polo Pendem, yang selalu ada saat kumpul bersama teman. Saya diceritakan bahwa Polo Pendem adalah makanan orang tua mereka saat Jepang menduduki wilayah itu, di mana makanan sangat sulit dicari.

Buku Rahasia Salinem tidak hanya membahas budaya, tetapi juga dinamika politik dan posisi manusia dalam arus konflik Pra-Kemerdekaan serta fase Indonesia membangun dirinya sebagai bangsa yang baru merdeka.

Relawan Pustakawan di PRTB