Pajak Digital: Tantangan dan Peluang Ekonomi Kreatif di Indonesia

Oleh: AGRESY BINTARA SAKTI Mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Linggabuana PGRI Sukabumi

Indonesia sedang menyaksikan ledakan pesat di sektor ekonomi digital dan kreatif. Jumlah content creator, influencer, dan pelaku e-commerce terus meroket. Perkembangan teknologi ini melahirkan model bisnis baru yang sebelumnya tak terjangkau sistem pajak konvensional. Namun, pertumbuhan ini juga membawa tantangan baru bagi perpajakan nasional, terutama untuk transaksi digital lintas batas yang tak berbentuk fisik.
Pemerintah Indonesia merespons dengan menerapkan kebijakan pajak digital. Tujuannya jelas: memastikan keadilan dan meningkatkan penerimaan negara, sekaligus mengatasi praktik penghindaran pajak oleh perusahaan digital, baik domestik maupun asing. Artikel ini akan membahas hubungan antara hukum pajak digital dan tantangan yang dihadapi sektor kreatif di Indonesia.
Pajak Digital: Aturan Baru, Tantangan Baru
Penerapan pajak digital di Indonesia dimulai resmi pada 1 Juli 2020, dengan berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48/PMK.03/2020. Regulasi ini menjadi dasar hukum untuk mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pemanfaatan barang/jasa tidak berwujud dari luar negeri oleh konsumen domestik. Pemerintah juga memperkenalkan konsep "Kehadiran Ekonomi yang Signifikan" untuk memajaki entitas asing yang berbisnis di Indonesia tanpa harus memiliki kantor fisik.
Sektor ekonomi kreatif, mencakup seni digital, musik, film, desain, animasi, game, dan konten digital lainnya, adalah kontributor utama pertumbuhan ekonomi digital Indonesia. Data Kementerian Keuangan (2021) menunjukkan, sektor ini menyumbang lebih dari Rp1.100 triliun terhadap PDB dan menyerap jutaan tenaga kerja, terutama kaum muda.
Meski begitu, pelaku di sektor ini menghadapi tantangan besar dalam memahami dan memenuhi kewajiban pajak yang baru:
- Literasi Pajak Digital Rendah: Banyak pelaku ekonomi kreatif, terutama UKM dan individu non-formal, belum paham betul pajak digital.
- Sistem Pajak yang Kompleks: Pajak digital sering dianggap rumit, sulit dipahami, dan tidak user-friendly.
- Minimnya Sosialisasi: Kurangnya informasi dan pendampingan dari otoritas pajak.
- Ketidakpastian Hukum: Model bisnis baru seperti monetisasi media sosial, langganan konten premium, atau NFT seringkali belum diatur secara eksplisit, menciptakan ketidakpastian.
- Tantangan Koordinasi: Pelaksanaan pemungutan pajak digital terhadap penyedia jasa asing masih sulit dikoordinasikan lintas negara, meskipun DJP sudah menunjuk platform global seperti Netflix, Spotify, dan Google sebagai pemungut PPN.
Kesimpulan dan Saran: Merangkul Ekonomi Kreatif dengan Kebijakan Adaptif
Penerapan pajak digital di Indonesia adalah langkah penting untuk menyesuaikan sistem pajak dengan perkembangan ekonomi digital global. Dengan regulasi ini, Indonesia berusaha menjaga basis pajak, menciptakan kesetaraan antara pelaku usaha konvensional dan digital, serta mendorong keadilan fiskal.
Namun, untuk memastikan kebijakan ini tidak menghambat pertumbuhan sektor ekonomi kreatif, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif, adaptif, dan kolaboratif.
Saran Strategis:
- Edukasi dan Sosialisasi Masif: Pemerintah perlu memperkuat edukasi pajak digital kepada pelaku ekonomi kreatif, khususnya UKM dan individu non-formal. Literasi pajak penting untuk mendorong kepatuhan sukarela (Pratama Institute, 2024).
- Penyederhanaan Regulasi: Regulasi pajak digital harus disederhanakan agar lebih adaptif terhadap dinamika ekonomi digital dan mudah dipahami oleh pelaku kreatif. Ini termasuk pembuatan panduan praktis dan sistem digital yang user-friendly (CIPS Indonesia, 2021).
- Pemberian Insentif: Kementerian Keuangan (2021) menunjukkan bahwa insentif fiskal dan non-fiskal bagi pelaku ekonomi kreatif dapat memperkuat kontribusi sektor ini terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja, serta mendorong transisi dari informal ke formal.
- Kolaborasi dengan Platform Digital: Pemerintah disarankan berkolaborasi dengan platform digital untuk mempermudah pelaporan dan pemungutan pajak. Integrasi sistem antara otoritas pajak dan platform diyakini dapat meningkatkan efisiensi dan kepatuhan (STIAMI, 2021; Hayati & Furqon, 2024).
Dengan langkah-langkah ini, pajak digital tidak akan menjadi beban, melainkan peluang emas untuk memajukan ekonomi kreatif Indonesia secara adil dan berkelanjutan.
Referensi:
- Pratama Institute. (2024). Dampak Pajak atas Industri Kreatif di Era Digital. Diakses dari
https://pratamainstitute.com/dampak-pajak-atas-industri-kreatif-di-era-digital/ - Hayati, N., & Furqon, M. (2024). Tantangan dan Peluang Penerapan Pajak Digital di Indonesia dalam Era Ekonomi Digital. Jurnal Ekonomi dan Bisnis.
- Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2021). Pelaku Ekonomi Kreatif Diuntungkan Insentif Fiskal dan Nonfiskal. Diakses dari
https://pajak.go.id/id/artikel/pelaku-ekonomi-kreatif-diuntungkan-insentif-fiskal-dan-nonfiskal - CIPS Indonesia. (2021). Pajak Digital di Indonesia. Diakses dari
https://www.cips-indonesia.org/publications/pajak-digital-di-indonesia?lang=id - STIAMI. (2021). Peluang dan Tantangan Pajak Digital di Indonesia. Jurnal Transparansi.