Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

#BERITALITERASI #BERBAGIFAKTA #BERBAGIILMU

PPN Naik Jadi 12%: Strategi APBN atau Beban Baru Rakyat?

Oleh: SHIFA SHOFIATUNNUFUS Mahasiswi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Linggabuana PGRI Sukabumi

Mulai 1 Januari 2025, pemerintah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Kebijakan ini adalah bagian dari implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang menargetkan optimalisasi penerimaan negara.

Kenaikan ini jadi perbincangan hangat. Di satu sisi, langkah ini dinilai strategis untuk memperkuat APBN dan mengurangi ketergantungan pada utang. Namun, banyak yang menilai ini bisa jadi beban tambahan bagi masyarakat, khususnya kelompok menengah ke bawah dan UMKM, apalagi di tengah pemulihan ekonomi yang belum stabil serta kendala implementasi sistem pajak digital Coretax.


Analisis: PPN dan Dampaknya pada Daya Beli

PPN, sebagai pajak konsumsi, secara teori dianggap netral. Tapi di Indonesia, di mana konsumsi rumah tangga mendominasi ekonomi (sekitar 55% dari PDB menurut BPS), kenaikan PPN jelas punya efek domino terhadap daya beli masyarakat.

Kementerian Keuangan meyakini kenaikan ini bisa menambah penerimaan negara hingga Rp80-100 triliun per tahun. Peningkatan ini penting untuk menjaga keseimbangan fiskal pascapandemi dan mendanai program prioritas nasional. Pemerintah juga mengklaim bahwa kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan layanan kesehatan tetap dibebaskan dari PPN, agar masyarakat kecil tidak terdampak langsung.

Namun, kenyataan di lapangan seringkali berbeda. Banyak produk turunan bahan pokok dan jasa yang masuk rantai distribusi tetap terkena PPN (misalnya biaya distribusi atau kemasan), sehingga menaikkan harga barang secara keseluruhan.

Seperti dijelaskan dalam buku Perpajakan karya Sri Narwanti (2020), PPN adalah pajak tidak langsung yang bebannya ditanggung konsumen akhir. Artinya, meski pelaku usaha yang menyetor pajak, beban akhirnya tetap di pundak konsumen. Ini membuat kenaikan PPN sangat terasa dampaknya.


Dampak pada Dunia Usaha dan UMKM

Selain konsumen, pelaku usaha juga terkena dampak. UMKM yang mendekati batas Pengusaha Kena Pajak (PKP) berisiko mengalami tekanan biaya produksi. Meskipun UMKM non-PKP tidak wajib memungut PPN, mereka tetap merasakan efek kenaikan harga bahan baku dan biaya operasional lain yang dikenai PPN. Ini bisa mengurangi daya saing mereka.

Ditambah lagi, transisi ke sistem digital baru Coretax belum sepenuhnya mulus. Banyak pengusaha mengeluhkan error sistem, sulitnya integrasi data, hingga keterlambatan penerbitan faktur elektronik. Masalah ini sempat mengganggu pelaporan dan pembayaran pajak, bahkan menyebabkan penerimaan negara anjlok hingga 41,9% pada awal 2025 (Badan Kebijakan Fiskal).


Apakah Kenaikan Ini Mendesak?

Kenaikan PPN bukan hal baru secara global. Banyak negara menyesuaikan tarif pajak untuk kebutuhan fiskal, seperti Jepang yang menaikkan PPN bertahap hingga 10%. Namun, yang membedakan adalah waktu dan kesiapan sistemnya.

Iklan Shopee Diskon 50% (Klik Foto dibawah untuk ke shopee)

Kenaikan pajak seharusnya dilakukan saat administrasi sudah matang, ekonomi stabil, dan ada jaring pengaman sosial yang kuat. Dalam konteks Indonesia, ketiga aspek ini masih perlu diperkuat. Sistem Coretax yang belum siap, daya beli masyarakat yang belum pulih, serta belum meratanya perlindungan sosial berisiko menciptakan tekanan ganda bagi ekonomi.


Kesimpulan: Keadilan dan Kesiapan Sistem Kunci Utama

Kenaikan PPN menjadi 12% adalah kebijakan yang sah secara hukum dan bisa dibenarkan dari perspektif fiskal. Namun, pelaksanaannya perlu mempertimbangkan kondisi objektif masyarakat dan kesiapan sistem pendukungnya. Dalam jangka panjang, pajak konsumsi memang penting untuk menjaga kemandirian fiskal, tetapi dalam jangka pendek, dampaknya harus diminimalisir melalui kebijakan yang berpihak kepada kelompok rentan.

Kebijakan pajak tidak boleh hanya dilihat sebagai alat fiskal semata, melainkan juga sebagai cerminan relasi negara dan warganya. Ketika masyarakat merasa adil dan dilibatkan, kepatuhan pajak akan tumbuh secara alami.


Sumber Referensi:

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
  2. Badan Kebijakan Fiskal. (2025). Laporan Realisasi APBN Triwulan I 2025.
  3. Kementerian Keuangan RI. (2024). Paparan Kebijakan PPN Tahun 2025.
  4. Pajak.go.id. (2025). Sosialisasi Kenaikan Tarif PPN dan Barang Bebas PPN.
  5. Narwanti, S. (2020). Perpajakan. Yogyakarta: Deepublish.