Perbedaan pengelolaan Keuangan Sri Mulyani dan Purbaya, Adakah dampak pada pajak masyarakat?
Oleh Anida Nuramalia Putri Mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Sosial dan Ekonomi Universitas Linggabuana PGRI Sukabumi
PERADMA.NET-Transisi kepemimpinan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Republik Indonesia selalu menjadi sorotan utama, mengingat peran strategis lembaga ini dalam menjaga stabilitas dan menggerakkan perekonomian nasional. Selama bertahun-tahun, Sri Mulyani Indrawati dikenal sebagai seorang teknokrat yang memegang teguh prinsip kehati-hatian, disiplin fiskal, dan integritas yang tinggi, serta fokus pada pengendalian defisit dan utang negara. Pendekatannya yang konservatif dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) seringkali dianggap sebagai simbol stabilitas, terutama di mata investor internasional.
Bergantinya kepemimpinan ke tangan Purbaya Yudhi Sadewa memunculkan gaya dan strategi baru yang cenderung lebih agresif, pragmatis, dan ekspansif. Beberapa kebijakan awal Purbaya, seperti penempatan dana pemerintah dalam jumlah besar di bank-bank BUMN untuk mendorong likuiditas dan penekanan bahwa anggaran harus dihabiskan secara efektif, menunjukkan adanya potensi pergeseran dalam filosofi pengelolaan kas dan belanja negara. Perbedaan gaya antara "disiplin ketat" ala Sri Mulyani dan "efisiensi arus kas" ala Purbaya ini menciptakan diskursus menarik mengenai dampak makroekonomi yang akan ditimbulkan.
Fokus utama dari artikel ini adalah menganalisis perbedaan-perbedaan esensial dalam filosofi dan implementasi pengelolaan keuangan oleh kedua Menteri Keuangan tersebut. Lebih lanjut, artikel ini akan mendalami pertanyaan krusial: adakah dampak nyata dari perbedaan pengelolaan fiskal ini terhadap kebijakan pajak dan beban pajak yang ditanggung oleh masyarakat?
Mengapa Topik Ini Berhubungan Dengan Pajak Masyarakat?
Topik ini memiliki relevansi yang sangat tinggi dengan Hukum Pajak di Indonesia karena sistem perpajakan merupakan instrumen utama dalam kebijakan fiskal. Pengelolaan keuangan negara, yang meliputi belanja dan penerimaan, secara fundamental diatur dalam kerangka hukum fiskal dan pajak.
1. Fungsi Anggaran (Fungsi Budgetair): Pajak adalah sumber pendapatan utama negara. Orientasi pengelolaan keuangan—apakah fokus pada efisiensi pengeluaran (seperti menghindari bunga utang dana menganggur) atau akselerasi belanja (seperti mendorong realisasi anggaran)—akan memengaruhi target penerimaan pajak yang harus dicapai. Jika belanja agresif, Kemenkeu mungkin perlu mengejar target pajak yang lebih tinggi atau mencari terobosan kebijakan pajak baru.
2. Fungsi Mengatur (Fungsi Regulerend): Kebijakan pajak digunakan untuk mengatur ekonomi. Jika pengelolaan keuangan mengarah pada stimulus ekonomi yang lebih besar (gaya Purbaya), hal itu dapat diiringi dengan insentif pajak (pengurangan tarif PPN atau PPh tertentu) atau, sebaliknya, peningkatan intensitas pengawasan dan penegakan hukum pajak (misalnya, pemberantasan misinvoicing) untuk menutup potensi defisit. Setiap perubahan ini secara langsung diikat oleh undang-undang perpajakan yang berlaku, seperti UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan perubahannya.
3. Aspek Kepatuhan dan Kepercayaan Masyarakat: Transparansi dan efektivitas pengelolaan dana pajak sangat menentukan tingkat kepatuhan pajak masyarakat. Jika masyarakat melihat bahwa pajak yang dibayarkan dikelola secara efisien, transparan, dan berdampak positif (terlepas dari gaya kepemimpinan), maka kepercayaan publik akan meningkat, yang pada akhirnya akan memperkuat sistem perpajakan nasional.
Oleh karena itu, membandingkan dua pendekatan ini bukan sekadar mengamati pergantian figur, melainkan menganalisis potensi pergeseran kebijakan yang dapat mengubah lanskap kewajiban dan hak Wajib Pajak di Indonesia.
Memangnya Apa Perbedaan Pengelolaan Sri Mulyani dan Purbaya?
Perbedaan utama antara pengelolaan yang dijalankan oleh Sri Mulyani Indrawati dan Purbaya Yudhi Sadewa terletak pada filosofi dan pendekatan praktis mereka dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
1. Gaya Fiskal dan Kedisiplinan
· Sri Mulyani Indrawati: Mengadopsi gaya fiskal yang sangat konservatif dan disiplin (prudent). Prioritas utamanya adalah menjaga stabilitas APBN dan kredibilitas internasional. Pengelolaan utang dan defisit dilakukan dengan sangat hati-hati, berusaha agar posisinya selalu terjaga.
· Purbaya Yudhi Sadewa: Mengadopsi gaya yang lebih agresif dan ekspansif/pragmatis. Prioritasnya adalah optimalisasi pengeluaran yang sudah dianggarkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi secepat mungkin. Ia berpendapat bahwa uang yang sudah dianggarkan harus dihabiskan untuk rakyat, bukan dibiarkan menganggur.
2. Pendekatan terhadap Efisiensi Anggaran
· Sri Mulyani: Efisiensi sering diidentikkan dengan pemangkasan atau pemblokiran (membintangi) anggaran kementerian/lembaga. Jika ada potensi pelebaran defisit atau ketidakpastian, instrumen earmarking atau pemblokiran anggaran sangat sering digunakan untuk "mengamankan" posisi fiskal.
· Purbaya: Menolak keras praktik pemblokiran anggaran (membintangi). Baginya, efisiensi bukan berarti tidak membelanjakan, melainkan mempercepat penyerapan anggaran dan memastikan dana yang dialokasikan benar-benar tersalurkan dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Jika ada dana yang tidak terserap, itu harus segera direlokasi ke program yang lebih produktif.
3. Pengelolaan Likuiditas (Kas Negara)
· Sri Mulyani: Cenderung sangat ketat dan hati-hati dalam mengeluarkan dana. Dana kas negara (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran/SiLPA) dikelola dengan fokus pada penempatan yang aman dan terkendali, dan biasanya digunakan untuk menambal defisit tahun berikutnya atau membayar utang.
· Purbaya: Lebih berani melakukan intervensi dengan kas negara. Contohnya, ia sempat mencetuskan kebijakan untuk menempatkan dana pemerintah (likuiditas) di bank-bank BUMN (Himbara) sebagai upaya stimulasi agar bank lebih berani menyalurkan kredit ke sektor riil.
Inti Perbedaannya:
Pada dasarnya, Sri Mulyani sangat fokus pada pengendalian sisi penerimaan dan defisit serta menjaga citra baik di mata dunia, sementara Purbaya sangat fokus pada optimalisasi sisi pengeluaran agar anggaran berfungsi maksimal sebagai stimulus perekonomian.
Dampak pada Kepercayaan Masyarakat dan Pasar
1. Kepercayaan Pasar Global dan Investor (Era Sri Mulyani)
· Persepsi: Sri Mulyani identik dengan kedisiplinan fiskal yang ketat, pengelolaan defisit yang hati-hati, dan menjaga standar internasional.
· Dampak Positif: Pendekatan konservatif ini memberikan kepastian dan kredibilitas yang tinggi di mata pasar global, lembaga pemeringkat kredit, dan investor asing. Nama Sri Mulyani menjadi simbol keandalan fiskal Indonesia.
· Dampak Negatif: Kebijakannya terkadang dianggap terlalu elit atau pro-pasar (kreditor asing), dan kebijakan efisiensi seperti pemblokiran anggaran sering menimbulkan kegelisahan di kementerian/lembaga dan birokrasi.
2. Kepercayaan Publik Domestik dan Stabilitas Domestik (Era Purbaya)
· Persepsi: Purbaya dikenal lebih populis dan membumi, dengan fokus utama pada kepentingan domestik, likuiditas, dan percepatan pembangunan. Istilah "Purbaya Effect" muncul sebagai paradigma baru pengelolaan fiskal.
· Dampak Positif: Kebijakan yang berfokus pada optimalisasi belanja dan penempatan dana pemerintah (seperti Rp200 triliun ke Bank Himbara) bertujuan untuk meningkatkan likuiditas perbankan dan mendorong kredit, yang disambut baik oleh pelaku usaha dan sektor riil. Sikap tidak memblokir anggaran juga disambut baik oleh kementerian/lembaga.
· Tantangan Kepercayaan: Bagi pasar internasional, pendekatan yang lebih agresif ini awalnya dapat menimbulkan pertanyaan apakah Indonesia masih setia pada disiplin fiskal atau mulai melonggarkan aturan demi ambisi pembangunan. Transparansi dan konsistensi kebijakan akan menjadi ujian utama untuk menjaga kepercayaan pasar global.
Kesimpulan
Perbedaan filosofi fiskal antara Sri Mulyani (konservatif, fokus pada stabilitas defisit dan utang) dan Purbaya (agresif, fokus pada stimulus ekonomi melalui percepatan belanja dan likuiditas) memiliki dampak nyata pada kebijakan pajak.
· Implikasi Pajak: Pendekatan Sri Mulyani mengutamakan kepatuhan dan kredibilitas global. Sementara pendekatan Purbaya, yang mendorong belanja ekspansif, berpotensi menuntut target penerimaan pajak yang lebih tinggi atau peningkatan intensitas penegakan hukum pajak untuk menutup potensi defisit anggaran, yang secara langsung memengaruhi beban dan kewajiban Wajib Pajak.
· Intinya: Dampak terbesar terletak pada strategi implementasi perpajakan dan tingkat kepercayaan publik terhadap pengelolaan dana pajak yang efisien.
Saran
· Bagi Kemenkeu: Konsistensi dan transparansi mutlak diperlukan. Kebijakan stimulus yang agresif harus diimbangi dengan strategi penerimaan pajak yang realistis dan terukur agar disiplin fiskal jangka panjang tetap terjaga.
· Bagi Masyarakat: Wajib Pajak perlu meningkatkan pengawasan terhadap realisasi belanja negara untuk memastikan bahwa dana pajak benar-benar tersalurkan secara efisien. Hal ini penting untuk menjaga kepatuhan dan kepercayaan publik.
· Bagi Legislatif (DPR): Perlu pengawasan ketat terhadap efektivitas percepatan belanja (gaya Purbaya) dan setiap intervensi likuiditas kas negara agar tidak melonggarkan aturan disiplin fiskal yang dapat menimbulkan risiko pasar.
Referensi
Undang-Undang:
1. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
2. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
3. Jurnal ilmiah peranan kebijakan fiskal terhadap agregat demand di Indonesia tahun 2024, oleh Rangga Putra Nanda
4. Dua mazhab ekonomi, Oleh Rachmat Shobirin (Tim Redaksi Indonesia), September 2025
5. Beda efisiensi Anggaran Versi Sri Mulyani dan Purbaya, oleh CNCB Indonesia, Oktober 2025
Penulis :