Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

#BERITALITERASI #BERBAGIFAKTA #BERBAGIILMU

MENIMBANG ULANG KENAIKAN PPN DI INDONESIA : ANTARA KEBUTUHAN FISIKAL DAN PRINSIP KEADILAN PAJAK

OLEH : AI SRI AULIA MAHASISWA S1 PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS SOSIAL DAN EKONOMI UNIVERSITAS LINGGABUANA PGRI SUKABUMI 

Sistem perpajakan merupakan pilar utama pembiayaan negara. Di Indonesia, salah satu fenomena terkini yang paling banyak diperbincangkan dalam diskursus hukum dan ekonomi adalah rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025. Kebijakan ini, yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), memicu perdebatan sengit mengenai urgensi, dampak ekonomi, dan terutama, keadilan sosial di tengah tantangan pemulihan ekonomi pasca-pandemi.

Latar Belakang dan Relevansi Isu

Latar belakang kebijakan ini berakar pada kebutuhan pemerintah untuk memperkuat struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan meningkatkan rasio pajak (tax ratio). Indonesia menghadapi tantangan rasio pajak yang cenderung stagnan di kisaran 10,2% dari PDB pada tahun 2023, jauh di bawah rata-rata negara ASEAN lainnya (sekitar 14-15%). Pemerintah berargumen bahwa kenaikan tarif PPN diperlukan untuk memperluas ruang fiskal guna membiayai pembangunan infrastruktur dan program prioritas nasional, serta menyelaraskan tarif PPN dengan standar internasional.

Relevansi isu ini sangat tinggi karena PPN adalah pajak konsumsi yang dikenakan pada hampir semua transaksi barang dan jasa. Kenaikannya akan berdampak langsung dan cepat terhadap harga-harga di pasar, menyentuh setiap lapisan masyarakat tanpa terkecuali.

 

Analisis Hukum Pajak: Konflik antara Fungsi Fiskal dan Keadilan

Dalam teori hukum pajak, terdapat dua fungsi utama pajak: fungsi fiskal (sebagai sumber penerimaan negara) dan fungsi regulerend (sebagai alat untuk mengatur atau mencapai tujuan sosial/ekonomi, termasuk keadilan). UU HPP menekankan fungsi fiskal yang kuat melalui penyesuaian tarif PPN.

Namun, PPN secara inheren adalah pajak yang bersifat regresif. Berdasarkan teori keadilan pajak, khususnya prinsip kemampuan membayar, pajak seharusnya dikenakan secara proporsional atau progresif (semakin kaya, semakin besar persentase pajaknya). PPN melanggar prinsip keadilan vertikal ini karena beban pajak yang ditanggung oleh masyarakat berpenghasilan rendah cenderung lebih besar secara proporsional terhadap total pendapatan mereka, sebab hampir seluruh pendapatan mereka habis untuk konsumsi.

Meskipun UU HPP memberikan fasilitas pembebasan PPN atau PPN dengan tarif 0% untuk barang kebutuhan pokok strategis, pendidikan, dan layanan kesehatan, dampak rambatan ekonomi (multiplier effect) dari kenaikan tarif tetap akan terasa pada harga barang secara keseluruhan. Pemerintah menggunakan landasan hukum yang kuat melalui UU HPP, namun implementasinya berpotensi mengabaikan aspek sosiologis keadilan distributif.

 

Dampak Kebijakan terhadap Masyarakat dan Perekonomian

Dampak utama dari kenaikan PPN adalah potensi peningkatan laju inflasi. Ekonom dari berbagai lembaga riset, seperti Center of Economic and Law Studies (CELIOS), telah memperingatkan bahwa kenaikan PPN dapat memangkas daya beli masyarakat dan sedikit memperlambat pertumbuhan konsumsi rumah tangga, yang merupakan pilar utama perekonomian Indonesia.

Bagi masyarakat, kenaikan ini berarti pengeluaran hidup sehari-hari menjadi lebih mahal. Ini sangat membebani kelompok berpenghasilan tetap dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang mungkin kesulitan membebankan kenaikan harga sepenuhnya kepada konsumen akhir.

Dari sisi penerimaan negara, kebijakan ini memang menjanjikan tambahan pundi-pundi APBN. Namun, jika pertumbuhan ekonomi melambat akibat penurunan konsumsi, target penerimaan tersebut bisa jadi tidak tercapai optimal, menciptakan dilema ekonomi yang kompleks.

 

Kesimpulan dan Rekomendasi

Kenaikan PPN menjadi 12% adalah kebijakan yang sah secara hukum (diatur dalam UU HPP) dan diperlukan dari perspektif kebutuhan fiskal jangka panjang. Namun, urgensi penerapannya pada tahun 2025 perlu dipertimbangkan kembali secara matang, terutama dengan mempertimbangkan risiko inflasi dan penurunan daya beli masyarakat.

Berikut adalah beberapa rekomendasi kebijakan bagi pemerintah untuk mencapai sistem pajak yang lebih efektif, adil, dan berkelanjutan:

1. Menunda Penerapan Kenaikan PPN: Pemerintah sebaiknya menunda penerapan tarif 12% hingga daya beli masyarakat pulih sepenuhnya dan kondisi ekonomi global lebih stabil. Fungsi regulerend (pengaturan ekonomi) harus didahulukan daripada fungsi fiskal dalam kondisi saat ini.

2. Optimalisasi Penerimaan dari Sektor Lain: Daripada hanya mengandalkan PPN yang regresif, pemerintah harus lebih agresif dalam mengoptimalkan penerimaan dari pajak langsung, seperti Pajak Penghasilan (PPh) Badan dan PPh Orang Pribadi High-Net-Worth Individuals (HNWI). Penegakan hukum yang tegas terhadap pengemplang pajak besar harus menjadi prioritas.

3. Memperkuat Pengawasan Penggunaan Dana Pajak: Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana pajak sangat penting untuk membangun kepercayaan publik (tax morale).

4. Simplifikasi Administrasi Perpajakan: Memanfaatkan teknologi digital untuk menyederhanakan administrasi pajak, terutama bagi UMKM, untuk meningkatkan kepatuhan sukarela.

 

Indonesia membutuhkan sistem pajak yang kuat sekaligus adil. Keseimbangan antara kebutuhan penerimaan negara dan prinsip keadilan sosial adalah kunci keberlanjutan sistem perpajakan nasional.

 

Referensi :

1. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2024). APBN Kita Edisi Mei 2024. Jakarta: Kemenkeu. www.kemenkeu.go.id

2. CELIOS (Center of Economic and Law Studies). (2024, Mei 22). Dampak Kenaikan PPN Terhadap Perekonomian Indonesia. Artikel Analisis Media. (Akses melalui pencarian media massa nasional kredibel)

3. DDTCNews. (2024, Juni 1). Menkeu Minta DJP Kejar Wajib Pajak Besar yang Masih Belum Patuh. Berita Perpajakan. news.ddtc.co.id

4. UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246. peraturan.go.id

5. OECD. (2023). Revenue Statistics in Asian and Pacific Economies 2023. Paris: OECD Publishing. www.oecd-ilibrary.org