Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

#BERITALITERASI #BERBAGIFAKTA #BERBAGIILMU

Membangun Sukabumi dari Sendiri : Optimalisasi PBB di Tengah Insentif Pajak 2025

 

Oleh: Puji Intan Nurkhalifah Mahasiswa Semester 3 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Sosial dan Ekonomi Universitas Linggabuana PGRI Sukabumi


PERADMA.NET--Kasus perpajakan yang mencuat di media saat ini merupakan salah satu topik utama yang sangat relevan dalam konteks PBB-P2 pajak bumi dan bangunan perdesaan perkotaan. Ditengan upaya pemerintah untuk memperbaiki struktur PBB-P2, kebijakan pajak menjadi aspek yang paling penting saat ini, terutama dalam peningkatan pendapatan negara dan mencapai keadilan sosial. Salah satu isu yang baru baru ini mencuat ialah di daerah kabupaten sukabmu. Kabupaten sukabumi, dengan potensi alamnya dan demografi yang besar, selalu memiliki tantangan klasik dalam urusan pembangunan: Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dalam konteks ini, pajak bumi dan bangunan perdesaan perkotaan (PBB-P2) adalah instrumen vital yang kekuatannya sering diremehkan, padahal ia bisa jadi pondasi kemandirian fiskal daerah. Tahun 2025, di tengah gejolak isu perpajakan nasional dan kebijakan insentif daerah yang gencar, adalah momentum krusial untuk mengevaluasi ulang strategi optimalisasi PBB di Sukabumi.

Optimalisasi Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Dalam beberapa literatur manajemen, tidak dijeskan secara tegas pengertian optimalisasi, namun dalam Kamus Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta (1997:753) Dikemukakan bahwa : “Optimalisasi adalah hasil yang dicapai sesuai dengan keinginan, jadi optimalisasi merupakan pencapaian hasil sesuai harapan secara secara efektif dan efisien”. Dari uraian tersebut bahwa optimalisasi hanya dapat diwujudkan secara efektif dan efisien. Dalam penyelenggaraan organisasi, senantiasa tujuan diarahkan mampu berhasil guna dan berdaya guna.

Hubungan Hukum Pajak Pada Fenomena di Media
Hukum pajak di Indonesia, sebagaimana telah diatur dalam UU HPP, mencerminkan upaya untuk menyelaraskan peraturan pajak dengan kondisi ekonomi saat ini. Sebagai contoh, Pemerintah kabupaten sukabumi patut diapresiasi atas berbagai program insentif yang diluncurkan tahun ini, seperti pembebasan denda hingga diskon pokok tunggakan PBB. Program ini terbukti efektif dalam jangka pendek untuk meningkatkan kepatuhan dan meraih target. Data menunjukan realisasi pajak daerah yang surplus di triwulan tertentu. Namun, kebijakan insentif pajak seperti “pemutihan” mengandung dua mata pisau. Disatu sisi, ia berhasil menarik wajib pajak yang menunggak lama untuk kembali putih. Di sisi lain, ia berpotensi menanamkan kebiasaan buruk di benak masyarakat : “Menunggu diskon” daripada membayar tepat waktu. Jika kebijakan ini terus berulang tanpa diimbangi dengan perbaikan fundamental, potensi pendapatan tahun berjalan akan selalu tergerus oleh tunggakan masa lalu.

Tiga Pilar Optimalisasi PBB Jangka Panjang
Optimalisasi PBB sejati tidak terletak pada insentif, melainkan pada penguatan sistem yang adil berkelanjutan. Kabupaten Sukabumi harus fokus pada tiga pilar utama:

1. Penyempurnaan Basis Data dan Subjek Pajak
Salah satu masalah utama PBB adalah akurasi data. Banyak aset properti yang nilainya belum diperbarui (Nilai jual objek pajak/NJOP), atau bahkan belum terdaftar, terutama dikawasan yang mengalami lonjakan pembangunn seperti wilayah pesisir atau jalur indrustri baru. Program inovatif seperti penyepadanan data PBB-P2 dengan data kependudukan, pendataan dan verifikasi ulang objek pajak, khususnya properti mewah atau komersial yang belum sesuai nilai riilnya, adalah kunci untuk menciptakan keadilan horizontal dan mendongkrak potensi penerimaan secara signifikan tanpa menaikan tarif PBB secara ugal-ugalan pada masyarakat kecil.

2. Peningkatan Kualitas Layanan dan Kemudahan Pembayaran
Kepatuhan muncul dari kemudahan. Upaya pemkab Sukabumi dalam melakukan digitalisasi dan sinergi dengan berbagai chanel pembayaran (bank, loket online,hingga layanan di tingkat desa) harus terus diperluas. Pemerintah daerah harus memastikan bahwa surat pemberitahuan pajak terutama (SPPT) diterima tepat waktu dan informasinya mudah dipahami. Selain itu, sistem”jemput bola” atau pelayanan keliling ke daerah-daerah terpencil perlu diperkuat. Wajib pajak yang merasa dihargai dan dipermudah layanannya cenderung lebih patuh, terlepas dari ada atau tidak adanya insentif.

3. Transparansi dan Eamarking Pembangunan
Masyarakat akan ikhlas membayar pajak jika mereka melihat uang mereka kembali dalam benrtuk pembangunan yang nyata. PBB adalah pajak yang alokasinya langsung terlihat : Pembangunan infrastruktur, perbaikan fasilitas publik, dan peningkatan layanan dasar disekitar tempat tinggal mereka. Pemkab perlu lebih transparan dalam mempublikasikan alokasi PBB. Publikasi anggaran yang jelas, misalnya, “pendapatan PBB dari kecamatan cikembar dialokasikan 70% untuk pembangunan jalan desa cikembar dan 30% untuk sekolah umum di sana,” akan menjadi alat persuasif yang jauh lebih ampuh daripada diskon. Ini menciptakan rasa memiliki (Ownership) bahwa PBB adalah iuran kolektif untuk membangun Sukabumi bersama.

Menuju Kemandirian Fiskal
Tahun 2025 adalah tahun penyelarasan berbagai aturan perpajakan daerah pasca-UU Hubungan keuangan antara pemerintah Pusat dan pemerintah Daerah. Kabupaten Sukabumi memiliki kesempatan emas untuk bertransformasi dari ketergantungan pada Dana Transfer kemandirian fiskal berbasis PBB.

Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan analisis yang telah saya lakukan, dapat disimpulkan bahwa kemandirian fiskan Kabupaten Sukabumi sangat bergantung pada Optimalisasi PBB P-2 yang berkelanjutan, dan melalui fundamental sistem, bukan hanya mengandalkan kebijakan insentif jangka pendek semata. PBB-P2 merupakan instrumen penting dan strategis untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan mengakhiri ketergantungan pada Dana Transfer dari Pemerintah Pusat. PBB-P2 memiliki keunggulan alokasi yang lebih langsung dilihat oleh masyarakat, sehingga berpotensi meningkatkan rasa kepemilikan masyarakat. Kebijakan insentif pajak (pemutihan/diskon) terbukti efektif dalam jangka pendek untuk mrningkatkan kepatuhan dan realisasi pajak dari tunggakan lama. Namun, kebijakan ini beresiko menciptakan perilaku ketidakpatuhan jangka Panjang, Dimana wajib pajak (WP) cenderung menunggu diskon, yang pada akhirnya akan menggerus potensi penerimaan tahun perpajakan.Sebagai saran, Optimalisasi sejati membutuhkan fokus pada tiga pilar utama yang saling terkait : perbaikan berbasis data (keadilan horizontal), peningkatan layanan (kemudahan pembayaran), dan transparansi alokasi dana (earmarking). Ketiga pilar ini menciptakan sistem pajak yang adil, efisien, dan akuntabel.

Referensi :
1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).
3. Peraturan Bupati (Perbup) Kabupaten Sukabumi yang mengatur teknis pelaksanaan pemungutan PBB-P2 dan program insentif (pemutihan/diskon).
4. Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Sukabumi tentang Pajak Daerah, khususnya yang mengatur tarif dan insentif PBB-P2.
5. Poerwadarminta, WJS (1997). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.