Kepatuhan Vs Penegakan Hukum: Dua jurang Pemisah Dalam Mencapai Target Pajak Nasional
Oleh FITRI AULIA Mahasiswa S1 Pendidikan Pancasila Dan KewarganegaraanFakultas Sosial Dan Ekonomi Universitas Linggabuana PGRI Sukabumi
Pendahuluan: Kepatuhan Wajib Pajak Dan Penegakan Hukum
Pajak merupakan salah satu sumber utama pendanaan negara. Hampir seluruh program pembangunan, mulai dari pendidikan, kesehatan, infrastruktur, hingga perlindungan sosial, bergantung pada kontribusi wajib pajak. Di Indonesia, pencapaian target penerimaan pajak masih menghadapi berbagai tantangan, terutama terkait dua aspek penting yang seharusnya berjalan beriringan yaitu kepatuhan wajib pajak dan penegakan hukum di bidang perpajakan.
Dalam praktiknya, kedua aspek tersebut belum berjalan seimbang. Kepatuhan sukarela masyarakat masih tergolong rendah, sementara penegakan hukum belum mampu menutup seluruh celah pelanggaran pajak. Ketidakseimbangan ini menciptakan “jurang kebijakan” yang mengurangi efektivitas sistem perpajakan. Jika kondisi ini tidak segera diatasi secara menyeluruh, selisih penerimaan pajak (tax gap) akan tetap tinggi, sehingga potensi penerimaan negara tidak optimal. Oleh karena itu, pemahaman masyarakat mengenai pentingnya pajak, kesadaran sosial, serta peran aparat pajak menjadi faktor yang sangat menentukan keberhasilan sistem perpajakan nasional.
Reformasi Perpajakan Terkini di Indonesia
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah telah melakukan upaya serius untuk memperbaiki sistem perpajakan melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Reformasi ini mencakup sejumlah perubahan strategis yang diharapkan mampu meningkatkan efektivitas penerimaan pajak, antara lain:
1. Pemanfaatan NIK sebagai NPWP, sehingga basis data wajib pajak menjadi lebih luas dan mudah diakses.
2. Perluasan objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sehingga transaksi yang sebelumnya tidak dikenai pajak kini tercakup dalam sistem perpajakan.
3. Peningkatan administrasi melalui sistem elektronik, integrasi data, serta transparansi yang lebih baik, sehingga wajib pajak dapat melakukan pelaporan dengan lebih cepat, tepat, dan minim kesalahan.
Tujuan dari reformasi ini adalah mempermudah proses perpajakan, memberikan kepastian hukum, serta meningkatkan kredibilitas institusi pajak. Meskipun demikian, implementasinya belum menunjukkan hasil yang signifikan. Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan, tax ratio Indonesia masih stagnan, dan realisasi penerimaan pajak seringkali belum sesuai target.
Hal ini menunjukkan bahwa perbaikan regulasi saja tidak cukup. Keberhasilan sistem perpajakan juga sangat bergantung pada perilaku wajib pajak, tingkat kepercayaan masyarakat, kualitas pelayanan, serta kemampuan pemerintah menutup celah kepatuhan. Sistem yang baik tetap membutuhkan masyarakat yang patuh dan aparat yang tegas namun profesional. Kesadaran publik terhadap manfaat pajak yang nyata, seperti pembangunan fasilitas kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur, juga menjadi faktor penentu kepatuhan.
Kepatuhan Wajib Pajak: Tantangan dan Dinamika
Kepatuhan wajib pajak merupakan fondasi dari sistem perpajakan yang efektif. Namun, tingkat kepatuhan di Indonesia masih relatif rendah. Hal ini terlihat dari selisih yang cukup besar antara jumlah wajib pajak yang terdaftar dan mereka yang benar-benar aktif melapor dan membayar pajak tepat waktu. Beberapa faktor yang memengaruhi kepatuhan antara lain:
1. Rendahnya literasi pajak, terutama di kalangan UMKM, pekerja informal, dan masyarakat dengan tingkat pendidikan terbatas.
2. Persepsi bahwa pajak tidak memberikan manfaat langsung, sehingga menurunkan motivasi untuk patuh.
3. Kompleksitas aturan perpajakan, meski digitalisasi telah membantu mempermudah sebagian proses.
4. Kurangnya kepercayaan publik terhadap otoritas pajak akibat beberapa kasus penyalahgunaan wewenang oleh oknum tertentu.
Kepatuhan tidak hanya dipengaruhi oleh rasa takut terhadap sanksi (deterrence theory), tetapi juga oleh tingkat kepercayaan, rasa keadilan, serta pengalaman positif dalam berinteraksi dengan petugas pajak. Ketika wajib pajak merasa dihargai, mendapatkan informasi yang jelas, dan dilayani dengan baik, mereka cenderung patuh tanpa perlu ancaman hukum.
Kepatuhan yang tinggi hanya dapat tercapai jika sistem perpajakan dirasakan adil, sederhana, dan transparan. Tanpa itu, masyarakat akan terus mencari cara untuk menunda atau menghindari kewajiban pajak. Oleh karena itu, edukasi perpajakan yang rutin dan sosialisasi manfaat pajak kepada masyarakat menjadi sangat penting. Dengan memahami peran mereka dalam pembangunan, wajib pajak akan lebih termotivasi untuk berkontribusi.
Penegakan Hukum Pajak: Upaya dan Keterbatasan
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah memperkuat penegakan hukum melalui pemeriksaan, penagihan aktif, serta penyidikan kasus pelanggaran. Kasus manipulasi faktur, penggelapan PPN, dan ketidakpatuhan pelaporan sering diungkap untuk memberikan efek jera.
Meski demikian, penegakan hukum masih menghadapi berbagai kendala, di antaranya:
1. Tidak meratanya penegakan hukum—pelanggaran kecil sering terabaikan, sedangkan pelanggaran besar tidak selalu tersentuh karena kompleksitas hukum.
2. Proses sengketa pajak yang panjang dan mahal, sehingga menimbulkan hambatan bagi dunia usaha.
3. Persepsi negatif terhadap institusi perpajakan, sehingga penegakan hukum dianggap represif dan menakutkan.
4. Kurangnya keseimbangan antara pendekatan tegas dan persuasif, padahal pendekatan humanis sangat dibutuhkan untuk membangun kepatuhan jangka panjang.
Penegakan hukum tetap penting, namun tidak efektif jika kepercayaan publik rendah. Hukum harus diterapkan secara konsisten, tidak diskriminatif, dan didukung oleh pelayanan yang profesional. Pemberian insentif bagi wajib pajak yang patuh juga dapat menjadi strategi efektif untuk mendorong kepatuhan sukarela, sehingga tidak selalu bergantung pada ancaman hukuman.
Ketidakseimbangan antara Kepatuhan dan Penegakan Hukum
Ketidakseimbangan antara upaya meningkatkan kepatuhan dan memperketat penegakan hukum menjadi salah satu penyebab perlambatan penerimaan pajak. Jika kepatuhan sukarela rendah, beban penegakan hukum menjadi lebih berat. Sebaliknya, jika penegakan hukum terlalu keras tanpa pendekatan edukatif, kepercayaan wajib pajak menurun dan mereka cenderung menghindari sistem.
Ketidakseimbangan ini memperbesar tax gap dan menurunkan efektivitas kebijakan fiskal. Dampak jangka panjangnya termasuk lambatnya perkembangan sektor formal, menurunnya minat investor, dan berkurangnya ruang fiskal pemerintah. Oleh karena itu, harmonisasi antara edukasi, pelayanan, dan penegakan hukum menjadi langkah strategis yang wajib diterapkan.
Dampak terhadap Masyarakat dan Perekonomian
1. Beban pajak tidak merata: Wajib pajak yang patuh menanggung lebih banyak, karena sebagian wajib pajak lain tidak patuh.
2. Sektor Informal Tumbuh: Pelaku usaha kecil cenderung menghindari sistem formal karena dianggap rumit atau berisiko, sehingga potensi pajak hilang.
3. Daya tarik investasi menurun: Ketidakpastian hukum dan pemeriksaan yang tidak konsisten membuat investor ragu menanam modal, baik domestik maupun asing.
4. Penghindaran pajak meningkat: Ketidakpercayaan terhadap institusi mendorong wajib pajak mencari celah hukum untuk mengurangi kewajiban pajak, bahkan secara ilegal.
Dampak ini menunjukkan bahwa perpajakan tidak hanya soal penerimaan negara, tetapi juga terkait keadilan sosial, pemerataan ekonomi, dan stabilitas investasi. Ketika sistem pajak berjalan efektif, masyarakat merasakan manfaat nyata, dan sektor formal tumbuh, maka pembangunan nasional dapat berlangsung lebih merata.
Kesimpulan
Kepatuhan dan penegakan hukum perpajakan di Indonesia masih belum berjalan seimbang. Rendahnya kepatuhan sukarela, minimnya kepercayaan publik, serta penegakan hukum yang tidak merata membuat tax gap tetap tinggi. Untuk meningkatkan efektivitas sistem perpajakan, pemerintah perlu menyelaraskan kedua aspek ini melalui peningkatan literasi, pelayanan berkualitas, transparansi, serta penegakan hukum yang adil dan konsisten.
Dengan harmonisasi tersebut, sistem perpajakan dapat mendukung pembiayaan negara secara berkelanjutan. Implementasi strategi yang tepat akan memperkuat kepercayaan masyarakat sekaligus memperluas basis penerimaan pajak. Pada akhirnya, perpajakan yang efektif akan mendorong pembangunan nasional yang lebih merata, meningkatkan kualitas layanan publik, dan memberikan kepastian hukum bagi seluruh warga negara.
Referensi:
1. Republik Indonesia. (2021). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Lembaran Negara Republik Indonesia No. 246.
2. Direktorat Jenderal Pajak. (2021). Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
3. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2024). Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2024: Realisasi Pendapatan Perpajakan.
4. Palupi, M. E., & Arifin, J. (2023). Kepatuhan wajib pajak UMKM di Indonesia: Faktor internal dan eksternal. NCAF (Journal UI), 5, 336–346
5. Maulana, A. F., Maulana, R., & Idha, M. (2024). Analisis peran Direktorat Jenderal Pajak dalam penegakan hukum di Indonesia. Jurnal Ilmiah Kimia dan Manajemen (JKIM).