Ketika Wajib Pajak Viral Baru Dapat Keadilan; Apakah Negara Hanya Tunduk pada Media Sosial?
Oleh: Holis Siti Masrupah Mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Sosial dan Ekonomi Universitas Linggabuana PGRI Sukabumi
PERADMA.NET-Kasus “wajib pajak viral akhirnya mendapatkan keadilan” merujuk pada situasi di mana penyelesaian sengketa pajak, keberatan, pemeriksaan, atau layanan perpajakan baru ditindaklanjuti dengan serius setelah kasus tersebut menjadi topik hangat di media sosial. Viralitas dalam konteks ini tidak hanya tentang ramai dibicarakan, tetapi juga menjadi tekanan publik yang mendorong respons cepat dari pihak pajak dan institusi pemerintahan. Dengan kata lain, perhatian pemerintah, klarifikasi dari pejabat, percepatan layanan, bahkan perubahan dalam keputusan administrasi seringkali muncul bukan karena kelancaran prosedur hukum, melainkan sebagai hasil dari desakan opini publik yang berkembang di dunia digital.
Analisis Ketika Wp Viral baru dapat Keadilan; Apakah hanya Tunduk pada Media Sosial?
Fenomena ini di mana wajib pajak baru mengalami keadilan setelah kasus mereka viral di media sosial menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara prosedur formal dan respons dari institusi pemerintahan. Dalam sistem perpajakan yang ideal, setiap keluhan, keberatan, atau permintaan agar klarifikasi seharusnya ditangani berdasarkan aturan dan standar layanan yang telah ditetapkan. Namun, kenyataannya adalah banyak wajib pajak merasa bahwa jalur formal seringkali lambat, rumit, atau kurang interaktif. Hal ini menyebabkan sebagian masyarakat lebih memilih media sosial sebagai saluran alternatif untuk “memaksa” pihak pajak memberikan respons. Ini juga menunjukkan bahwa media sosial telah berfungsi sebagai ruang kontrol publik yang sangat efektif. Pada saat ini, pemerintah dan lembaga perpajakan tidak hanya diawasi oleh mekanisme internal atau lembaga pengawas resmi, tetapi juga oleh opini publik yang cepat menyebar. Tekanan publik inilah yang sering membuat otoritas pajak merespons suatu kasus dengan lebih gesit dibandingkan jika kasus itu hanya melalui jalur administrasi biasa. Dengan kata lain, media sosial berfungsi sebagai alat untuk “menyoroti” kasus yang sebelumnya tidak diperhatikan oleh lembaga pemerintah.
Selain itu, fenomena ini mengindikasikan adanya masalah struktural dalam budaya birokrasi. Kinerja birokrasi sering kali dipengaruhi oleh tekanan dari luar, bukan oleh standar profesional yang seharusnya berlaku. Ketika kasus viral ditempatkan sebagai prioritas, ini menunjukkan ketidakmerataan dalam kecepatan pelayanan. Dari sudut pandang administrasi publik, hal ini menandakan adanya risiko bahwa lembaga negara beroperasi secara reaktif, bukan proaktif. Lembaga malah cenderung berfokus pada upaya untuk meredakan isu publik ketimbang melakukan perbaikan menyeluruh dalam sistem pelayanan.
Dari sudut pandang hukum, keadaan ini mencerminkan lemahnya kepastian hukum dan akses terhadap keadilan. Keadilan seharusnya diberikan berdasarkan peraturan, bukan karena popularitas masalah. Ketika “viral” menjadi cara tercepat untuk mendapatkan keadilan, maka prinsip kesetaraan dalam hukum perpajakan menjadi terancam. Wajib pajak yang tidak memiliki akses internet, kurang paham tentang teknologi, atau tidak berani membuat kasusnya viral berisiko tidak mendapatkan perlakuan yang sama meskipun mereka menghadapi masalah yang serupa.
Fenomena ini juga memiliki aspek psikologis dan sosial. Banyak wajib pajak merasa bahwa lembaga perpajakan adalah institusi yang sulit dijangkau, sehingga media sosial menjadi tempat yang lebih aman dan dapat lebih didengar. Ini merupakan sinyal penting bahwa ada krisis kepercayaan antara lembaga perpajakan dan masyarakat. Ketika masyarakat lebih percaya pada netizen ketimbang pada mekanisme pengaduan resmi, itu menunjukkan bahwa negara perlu melakukan refleksi mengenai efektivitas dan transparansi sistemnya.
Secara keseluruhan, pembahasan ini menunjukkan bahwa fenomena "keadilan setelah viral" tidak semata-mata berkaitan dengan cara pemerintah berkomunikasi atau merespons. Ini mencerminkan bahwa sistem perpajakan masih menunjukkan kekurangan dalam aspek transparansi, kualitas pelayanan, dan keandalan administrasi. Apabila masalah ini tidak diatasi, pola tersebut akan menciptakan ketergantungan baru: masyarakat merasa perlu mengangkat isu mereka ke media sosial untuk mendapatkan keadilan. Hal ini jelas tidak sehat bagi prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
Dampak dari Kasus Tersebut
Fenomena di mana wajib pajak baru memperoleh keadilan setelah isu mereka menjadi viral di media sosial memiliki beberapa dampak positif. Salah satu di antaranya adalah peningkatan transparansi, karena proses yang dulunya tertutup kini menjadi lebih terbuka saat masyarakat ikut mengawasi. Media sosial berfungsi sebagai sarana kontrol sosial yang menguatkan dorongan publik agar lembaga pemerintahan bersikap lebih responsif. Dalam banyak situasi, viralnya sebuah keluhan memicu pemerintah untuk mempercepat penyelesaian masalah yang sebelumnya tidak tertangani. Selain yang disebutkan, fenomena viral juga meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai hak-hak mereka sebagai wajib pajak, sehingga publik menjadi lebih berani dalam menyampaikan keluhan atau mempertanyakan perlakuan yang tidak adil. Namun, fenomena ini membawa dampak negatif yang cukup serius. Salah satu dampak utama adalah ketidakmerataan dalam penegakan keadilan, karena hanya kasus yang menarik perhatian luas yang mendapatkan respons cepat. Wajib pajak yang tidak akrab dengan teknologi atau tidak aktif di media sosial berpotensi mengalami ketidakadilan yang lebih parah. Situasi ini juga mengurangi kepercayaan publik terhadap saluran resmi, karena masyarakat merasa pemerintah hanya bertindak ketika ada tekanan dari publik. Selain itu, viralitas dapat mempengaruhi objektivitas dalam penyelesaian kasus; keputusan mungkin dibuat secara cepat demi menjaga reputasi institusi, bukan berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan. Terakhir, ketergantungan pada fenomena viral menggambarkan bahwa layanan publik masih kurang baik, karena seharusnya respons yang cepat datang dari sistem yang solid, bukan hanya dari tekanan di media sosial.
Kesimpulan dan Saran
Fenomena di mana wajib pajak baru menemukan keadilan setelah kasus mereka viral menunjukkan adanya persoalan mendasar dalam sistem layanan dan penegakan hukum perpajakan. Mekanisme pengaduan yang ada saat ini belum sepenuhnya dipercaya karena dianggap lamban, rumit, atau tidak responsif. Media sosial menjadi alternatif "jalur darurat" bagi masyarakat untuk memperjuangkan hak mereka, sehingga sering kali dorongan publik mendorong pemerintah untuk bertindak lebih cepat daripada yang dilakukan melalui jalur administratif biasa. Keadaan ini pada akhirnya menunjukkan bahwa transparansi, akuntabilitas, dan konsistensi dalam pelayanan masih memerlukan perbaikan.
Apabila viral menjadi satu-satunya metode agar suara wajib pajak dapat didengar, maka keadilan akan menjadi tidak merata. Mereka yang tidak aktif di media sosial atau tidak tahu cara untuk memviralkan isu bisa mengalami perlakuan yang lebih tidak adil. Hal ini bertentangan dengan prinsip kesetaraan dan kepastian hukum dalam sistem perpajakan. Oleh karena itu, negara perlu membangun sistem yang memastikan setiap wajib pajak mendapatkan keadilan tanpa harus bergantung pada perhatian publik atau tekanan dari netizen.
Untuk menangani isu bahwa para wajib pajak hanya mendapatkan keadilan setelah kasus mereka menjadi viral, pemerintah harus memperkuat prosedur pengaduan resmi sehingga masyarakat tidak merasa perlu menarik perhatian publik terlebih dahulu. Sistem pengaduan perlu disederhanakan, dipercepat, dan dibuat lebih transparan, misalnya dengan aplikasi yang memungkinkan wajib pajak untuk memantau kemajuan kasus seperti melacak nomor resi pengiriman. Selain itu, otoritas perpajakan harus menentukan batas waktu yang jelas untuk setiap jenis layanan, agar tanggapan cepat menjadi prosedur standar, bukan sekadar hasil dari tekanan publik. Pegawai pajak juga harus memberikan penjelasan tertulis jika terjadi keterlambatan, agar wajib pajak bisa memahami proses yang sedang berlangsung. Pemerintah perlu menciptakan budaya responsif di dalam birokrasi melalui pelatihan pelayanan publik, peningkatan komunikasi, dan penguatan layanan digital. Untuk menjaga objektivitas dan mencegah diskriminasi dalam pelayanan, lembaga pengawas eksternal seperti Ombudsman harus dilibatkan lebih aktif. Dengan langkah-langkah ini, semua wajib pajak dapat merasakan keadilan perpajakan, tidak hanya mereka yang suaranya populer di media sosial.
Referensi
1. Bovens, M. (2007). “Analyzing and Assessing Accountability: A Conceptual Framework. European Law Journal”, 13(4), 447–468.
2. Denhardt, J., & Denhardt, R. (2015). “The New Public Service: Serving, Not Steering. Routledge”.
3. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2023). “Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak. Jakarta”: DJP.
4. Nabatchi, T., & Amsler, L. (2014). “Direct Public Engagement in Local Government”. American Review of Public Administration.
5. OECD. (2021). “Tax Administration 2021: Comparative Information on OECD and Other Advanced and Emerging Economies”. OECD Publishing.
6. Putri, A. (2022). “Media Sosial sebagai Mekanisme Pengawasan Publik terhadap Kinerja Pemerintah.” Jurnal Pemerintahan dan Kebijakan Publik, 9(2), 112–125.
7. Surbakti, R. (2018). “Pelayanan Publik dan Tantangan Birokrasi di Era Digital”. Jakarta: Kencana.