Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

#BERITALITERASI #BERBAGIFAKTA #BERBAGIILMU

APAKAH PAJAK ATAS PESANGON DAN PENSIUN MELANGGAR KEADILAN SOSIAL?”ISU MENGENAI PAJAK PENGHASILAN (PPH) ATAS PESANGON DAN PENSIUN YANG DIGUGAT KE MK”


Oleh: Siti Rahma Fadila Program studi pendidikan pancasila dan kewarganegaraan Fakultas sosial dan ekonomi Universitas linggabuana PGRI sukabumi

PERADMA.NET-Pajak Penghasilan (PPh) adalah alat perpajakan yang telah lama diterapkan di negara ini. Namun, kebijakan yang menerapkan PPh pada pesangon dan dana pensiun yang diterima oleh karyawan setelah masa kerjanya selesai atau saat pensiun menyebabkan kontroversi. Sejumlah karyawan bank mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan alasan bahwa pemungutan Pajak Penghasilan atas pesangon dan dana pensiun bertentangan dengan prinsip keadilan sosial. Meskipun demikian, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan itu. Dalam keputusan yang dilaporkan oleh Detik.com pada 13 November 2025, MK menegaskan bahwa penetapan PPh terhadap pesangon dan dana pensiun tidak melanggar Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, DDTCNews (2025) juga memberitakan bahwa pengujian pajak atas pesangon dan pensiun ke Mahkamah Konstitusi mencerminkan adanya perdebatan antara kepastian hukum dan rasa keadilan sosial bagi pekerja.


Analisis Kerangka Hukum Pengenaan Pajak atas Pesangon dan Pensiun

Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU No. 7 Tahun 1983 beserta amandemennya) menjelaskan bahwa penghasilan diartikan sebagai setiap peningkatan kemampuan finansial yang diterima oleh wajib pajak. Berdasarkan ketentuan tersebut, uang pesangon dan manfaat pensiun secara hukum termasuk objek Pajak Penghasilan karena menambah kemampuan ekonomi penerimanya, meskipun diperoleh dalam kondisi tertentu seperti pemutusan hubungan kerja atau saat pensiun. Untuk merespons dampak sosial dari pemajakan ini, pemerintah melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Tahun 2021 memberikan keringanan berupa tarif Pajak Penghasilan yang lebih rendah atas pesangon hingga batas tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta pemberian fasilitas PTKP bagi penerima pensiun. Kebijakan ini bertujuan melindungi pekerja terdampak PHK dan pensiunan berpenghasilan rendah agar beban pajaknya tidak terlalu berat. Namun demikian, pemajakan atas pesangon dan pensiun masih mendapat kritik dari sudut pandang keadilan sosial. Pekerja yang di-PHK dan pensiunan umumnya mengalami penurunan stabilitas ekonomi, sehingga pesangon dan pensiun lebih berfungsi sebagai jaring pengaman sosial dibandingkan pendapatan aktif. Dalam teori perpajakan, keadilan pajak menekankan kemampuan membayar. Mardiasmo (2019) menjelaskan bahwa keadilan pajak didasarkan pada prinsip ability to pay, yaitu pajak seharusnya dipungut dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi wajib pajak, sehingga tidak membebani kelompok yang berada dalam kondisi finansial rentan. Oleh karena itu, pemajakan atas pesangon dan pensiun perlu dikaji secara cermat. Direktorat Jenderal Pajak menjelaskan bahwa uang pesangon dan manfaat pensiun tetap merupakan objek Pajak Penghasilan sesuai ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan, dengan penerapan tarif khusus dan fasilitas tertentu sebagai bentuk perlindungan bagi wajib pajak berpenghasilan rendah (Direktorat Jenderal Pajak, n.d.).


Dampak Pemajakan Pesangon dan Pensiun

Pemajakan pesangon dan pensiun berpotensi menurunkan daya beli masyarakat, yang berdampak pada konsumsi rumah tangga. Bagi para pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), pesangon adalah dana utama yang diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup mereka setelah kehilangan sumber pendapatan yang stabil. Pemotongan pajak pada pesangon akan mengurangi jumlah uang yang diterima, sehingga kemampuan pekerja untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, pendidikan anak, dan kesehatan menjadi berkurang. Keadaan ini bisa semakin menambah tekanan ekonomi dan psikologis yang sudah ada akibat kehilangan pekerjaan. Situasi yang sama juga berlaku untuk para pensiunan, karena pensiun adalah penghasilan yang menggantikan gaji dan digunakan untuk mendukung kehidupan di usia lanjut. Pajak yang dikenakan pada pensiun berpotensi menurunkan pendapatan bulanan, sehingga dapat berpengaruh pada kualitas hidup dan kesejahteraan pensiunan secara keseluruhan. Dalam konteks perekonomian nasional, berkurangnya pendapatan pekerja yang terkena PHK dan pensiunan akan mempengaruhi daya beli masyarakat. Turunnya daya beli ini dapat mengakibatkan penurunan konsumsi rumah tangga, padahal konsumsi merupakan salah satu kontributor terbesar untuk Produk Domestik Bruto (PDB). Jika hal ini berlangsung secara luas, maka bisa menghambat pertumbuhan dan pemulihan ekonomi, terutama di saat krisis atau ketika terjadi PHK secara massal. Selain itu, dari sudut pandang fiskal, pendapatan negara dari pajak pesangon dan pensiun tergolong kecil. Oleh karena itu, kebijakan ini dianggap memberikan beban sosial dan rasa ketidakadilan yang lebih besar dibandingkan dengan keuntungan fiskal yang diterima oleh negara.


Kesimpulan dan Saran

Secara hukum, pengenaan pajak atas pesangon dan dana pensiun memiliki dasar hukum yang kuat karena diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan. Oleh sebab itu, kebijakan ini diakui secara resmi dan berlaku bagi para wajib pajak. Meski demikian, dari sudut pandang etika dan sosial, kebijakan ini memunculkan isu mengenai keadilan, terutama bagi para pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja serta mereka yang pensiun. Kelompok ini biasanya menghadapi penurunan kemampuan finansial, sehingga pesangon dan dana pensiun menjadi sumber utama untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Pengenaan pajak terhadap dana-dana tersebut berpotensi menambah beban ekonomi mereka. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk memperbaiki kebijakan, seperti memberikan pembebasan pajak terhadap pesangon hingga jumlah tertentu, meningkatkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi pensiunan dengan penghasilan rendah, serta mengoptimalkan sumber pendapatan negara lainnya yang lebih berkelanjutan. Dengan demikian, meskipun penerapan pajak terhadap pesangon dan dana pensiun sah secara hukum, kebijakan ini tetap harus dievaluasi dari sudut pandang keadilan sosial dan kapasitas pembayaran wajib pajak sesuai dengan prinsip keadilan perpajakan.


Referensi

1. Republik Indonesia. (2021). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan).

2. Mardiasmo. (2019). Perpajakan (Edisi terbaru). Yogyakarta: Andi.

3. Direktorat Jenderal Pajak. (n.d.). Pajak atas uang pesangon dan manfaat pensiun.

4. DDTCNews. (2025, Oktober 14). PPh pesangon dan pensiun digugat ke Mahkamah Konstitusi.

5. Detik.com. (2025, November 13). MK tolak gugatan karyawan bank soal pajak pesangon dan pensiun.