JURANG PENDIDIKAN ABADI? MENGAPA ANAK KITA JAUH TERTINGGAL DARI SINGAPURA & KOREA?
.jpg)
JAKARTA — Setiap tahun, hasil survei global seperti PISA (Programme for International Student Assessment) selalu menghadirkan pil pahit: anak-anak Indonesia masih jauh tertinggal dalam literasi, numerasi, dan sains dibandingkan rekan-rekan mereka di Singapura, Korea Selatan, atau Finlandia. Ini bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan cerminan jurang pendidikan abadi yang semakin menganga antara negara maju dan negara berkembang seperti kita.
Pertanyaannya: mengapa? Apakah karena anak kita bodoh? Tentu tidak. Masalahnya jauh lebih kompleks dari itu.
1. Pendidikan Negara Maju: Berburu Deep Learning, Bukan Hafalan Nilai
Di negara-negara maju, fokus pendidikan telah bergeser drastis. Mereka tidak lagi mengejar hafalan rumus atau nilai ujian yang tinggi semata. Sebaliknya, yang mereka kejar adalah Deep Learning:
Pemahaman Konseptual Mendalam: Siswa didorong untuk menganalisis, mengevaluasi, dan bahkan menciptakan, bukan hanya mengingat. Mereka memecahkan masalah kehidupan nyata.
Literasi & Numerasi Kuat: Ini adalah fondasi utama. Anak-anak diajarkan membaca untuk memahami (bukan hanya melafalkan) dan menggunakan matematika sebagai alat berpikir logis (bukan sekadar hitungan). Ini terbukti dari skor TKA/AKM kita yang masih anjlok.
Guru sebagai Fasilitator Inovatif: Guru di negara maju dilengkapi dengan pelatihan berkelanjutan, teknologi canggih, dan kebebasan untuk bereksperimen dengan metode pengajaran yang paling efektif (misalnya, Gamifikasi). Beban administrasi mereka jauh lebih ringan, memungkinkan mereka fokus pada kualitas interaksi dengan siswa.
2. Pendidikan Negara Berkembang: Terjebak Siklus Masalah Lama
Lalu, bagaimana dengan kita?
Kesenjangan Mutu yang Menganga: Dari Jakarta hingga pelosok Sukabumi, kualitas pendidikan ibarat langit dan bumi. Infrastruktur minim, akses teknologi terbatas, dan kesenjangan kualitas guru menjadi penghalang utama. Ini membuat anak di daerah 3T jauh tertinggal.
Beban Kurikulum yang Kontradiktif: Meskipun Kurikulum Merdeka hadir dengan semangat baru (mengejar HOTS), implementasinya di lapangan seringkali terhambat. Guru masih terbebani administrasi, kesulitan menemukan media ajar yang tepat, dan akhirnya kembali ke metode lama yang berorientasi hafalan.
Fokus yang Salah: Remedial Tanpa Solusi Akar: Saat nilai siswa anjlok (misalnya di TKA), respons kita seringkali adalah remedial yang berulang. Siswa diminta mengulang materi tanpa ada perubahan fundamental dalam cara mereka belajar atau diajar. Ini seperti memberi plester pada luka yang butuh operasi.
3. 'Alarm' dari Meja Kelas Kita: Apa yang Harus Dilakukan?
Jika kita ingin anak-anak Indonesia tidak terus-menerus tertinggal, kita harus berhenti melakukan hal yang sama dan mengharapkan hasil yang berbeda.
Investasi Prioritas pada Deep Learning & HOTS: Ini bukan lagi pilihan, tapi keharusan. Kita butuh media ajar yang secara alami mendorong siswa untuk berpikir kritis, menganalisis, dan memecahkan masalah.
Pemerataan Kualitas Guru & Alat Ajar: Teknologi dan inovasi harus dapat diakses oleh semua guru, dari Sabang sampai Merauke. Solusi seperti Boardgame C3 (yang mendorong Gamifikasi, HOTS, dan Deep Learning tanpa remedial) adalah contoh bagaimana kita bisa membawa revolusi pendidikan langsung ke meja kelas.
Kurangi Beban Administrasi Guru: Biarkan guru fokus pada esensi mengajar dan membimbing siswa, bukan terjebak di tumpukan kertas.
Jangan biarkan jurang pendidikan ini menjadi takdir. Anak-anak kita memiliki potensi luar biasa, setara dengan anak-anak di negara maju. Yang mereka butuhkan adalah sistem yang tepat, alat yang inovatif, dan guru yang berdaya. Waktunya bergerak dari sekadar remedial menjadi revolusi Deep Learning! Jika tidak sekarang, kapan lagi kita akan serius mengejar ketertinggalan?