Integritas yang Tergerus di Meja Penagihan Mencermati Tanggung Jawab Aparat dan Ancaman bagi Penerimaan Negara
![]()
PERADMA.NET-Pajak adalah sumber daya vital, berperan sebagai pilar utama yang menopang hampir seluruh pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan peran yang begitu sentral, profesionalisme dan moralitas aparat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjadi taruhan utama. Belakangan ini, isu integritas kembali mencuat ke permukaan. Pernyataan dari Staf Ahli Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, yang mengumumkan pemecatan 26 pegawai pajak, menjadi sorotan tajam publik (Tempo.co, 2024). Perkara ini bukan sekadar urusan kedisiplinan internal; akar permasalahannya, yakni penyimpangan saat menangani penunggak pajak, telah menguak masalah sistemik.
Kasus ini menjadi lonceng peringatan bagi reformasi birokrasi yang tak kunjung usai. Fenomena ini mendesak kita untuk meninjau ulang secara kritis bagaimana akuntabilitas etik dan hukum para petugas pajak diimplementasikan, khususnya pada fungsi penagihan—sebuah area yang penuh godaan (moral hazard) dan memiliki otoritas tinggi. Kelalaian, atau lebih buruk lagi, kesengajaan, dalam membiarkan penunggak bebas, tidak hanya menimbulkan kerugian finansial, tetapi juga melukai prinsip kepatuhan wajib pajak yang seharusnya bersifat sukarela.
II. Analisis Mendalam Antara Etika,Hukum,dan Konsekuensinya
A. Kewenangan Hukum yang Melenceng dari Jalurnya
Pemerintah memberikan mandat hukum yang kuat kepada aparat pajak, terutama melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP). Otoritas ini memungkinkan mereka mengeluarkan berbagai instrumen penagihan, dari Surat Paksa, penyitaan aset, hingga tindakan tegas berupa penyanderaan (Gijzeling) bagi wajib pajak yang sangat bandel. Kewenangan besar ini, sayangnya, seringkali tidak berjalan beriringan dengan prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas.
Pelanggaran yang dilakukan oleh ke-26 pegawai, misalnya dengan mengabaikan tindak lanjut utang pajak, merupakan penyimpangan administratif serius. Dari perspektif hukum, tindakan ini tidak hanya memenuhi unsur pelanggaran disiplin berat yang berujung pada pemutusan hubungan kerja,sesuai dengan kriteria hukuman disiplin berat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil,tetapi juga berpotensi masuk ke dalam ranah pidana kejahatan jabatan yang diatur dalam UU KUP. Mereka gagal menjalankan amanah negara untuk mengamankan pendapatan, yang konsekuensinya langsung ditanggung oleh kas negara.
B. Rusaknya Fondasi Etika dan Erosi Kepercayaan Publik
Lebih dari sekadar hukum formal, dimensi etika seharusnya menjadi filter utama bagi setiap petugas pajak dari tindakan koruptif. Kode etik DJP mewajibkan seluruh anggotanya menjunjung tinggi kejujuran, integritas, dan menjauhkan diri dari konflik kepentingan. Kasus ini, yang mengarah pada dugaan kolusi atau penerimaan suap, jelas merupakan pengkhianatan etika yang mendasar.
Pengkhianatan ini menimbulkan reaksi publik yang negatif. Sulit bagi wajib pajak yang sudah patuh untuk menerima kenyataan bahwa aparat pajak, yang seharusnya menjadi penegak, justru bersekutu dengan penunggak. Dampak dari hilangnya integritas ini secara langsung merusak konsep keadilan pajak (tax fairness). Jika masyarakat memandang sistem ini pincang dan pejabatnya mudah dibeli, dorongan untuk membayar pajak secara jujur akan melemah, yang pada akhirnya menciptakan efek domino ketidakpatuhan di berbagai sektor (Alexander, 2024).
C. Implikasi Makro Ekonomi dan Desakan Reformasi
Kelalaian dalam proses penagihan utang pajak memiliki implikasi serius terhadap stabilitas fiskal dan arah kebijakan ekonomi. Setiap rupiah utang pajak yang dibiarkan lepas adalah potensi dana yang hilang untuk membiayai belanja produktif negara, padahal dana tersebut vital untuk mendanai sektor-sektor strategis. Hal ini terlihat jelas dalam komponen penerimaan negara yang disajikan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Kementerian Keuangan (LKPP, 2023). Dengan demikian, tanggung jawab etik petugas pajak secara tidak langsung adalah tanggung jawab ekonomi makro.
Meskipun DJP terus berupaya melakukan reformasi, kasus ini mempertegas bahwa perbaikan di sektor Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) adalah area yang paling rentan. Keputusan Menteri Keuangan untuk memecat 26 pegawai, walau berat, adalah sinyal penting toleransi nol (zero tolerance) terhadap pelanggaran integritas. Langkah tegas ini perlu dijadikan momentum emas untuk mempercepat pembenahan sistem pengawasan internal dan memperkuat kanal-kanal pengaduan yang aman bagi whistleblower.
III. Kesimpulan dan Saran
Kasus pemecatan 26 pegawai pajak merupakan alarm serius yang menunjukkan bahwa upaya optimalisasi penerimaan negara masih terganjal oleh masalah fundamental integritas aparatur. Pelanggaran yang berpusat pada penanganan penunggak pajak ini membuktikan bahwa potensi moral hazard yang timbul dari diskresi petugas adalah ancaman nyata terhadap kesehatan fiskal. Meskipun tindakan tegas (pemecatan) telah diambil, perbaikan harus bersifat sistemik.
Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah konkret untuk menutup celah kolusi:
1. Penguatan Digitalisasi Proses Penagihan: Proses penagihan harus semakin didorong ke arah digital (less-contact-audit) untuk meminimalkan interaksi tatap muka yang berpotensi memunculkan negosiasi ilegal.
2. Transparansi dan Rotasi SDM: Memperketat pengawasan kekayaan pegawai dan menerapkan sistem rotasi berkala, terutama pada unit-unit strategis dan rawan korupsi, serta menjadikan proses sanksi dan reward lebih transparan.
3. Penegasan Etika Institusional: Menjadikan Kode Etik DJP bukan sekadar dokumen formal, melainkan budaya kerja yang ditegakkan melalui edukasi anti-korupsi yang berkelanjutan dan perlindungan penuh bagi whistleblower.
Dengan menyeimbangkan penegakan hukum yang tegas dan perbaikan sistem yang komprehensif, DJP dapat memulihkan integritasnya, memastikan keadilan pajak ditegakkan, dan mengoptimalkan penerimaan negara demi kesejahteraan rakyat.
Referensi
1. Alexander, R. F. (2024). Peranan Etika Administrasi Bagi Aparatur Pajak (Fiskus) dalam Meningkatkan Kepatuhan Perpajakan. Jurnal Syntax Admiration, 5(1), 266-275.
2. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2024). Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2023 (Audited). Jakarta: Kementerian Keuangan.
3. Pemerintah Republik Indonesia. (2021). Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Lembaran Negara RI Tahun 2021 Nomor 202.
4. Pemerintah Republik Indonesia. (1997). Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (sebagaimana telah diubah).
5. Pemerintah Republik Indonesia. (1983). Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 6 Tahun 2023).
6. Tempo.co. (2024, Agustus 19). Purbaya Ungkap Kesalahan 26 Pegawai Pajak yang Dipecat. [Diakses dari link: https://www.tempo.co/ekonomi/purbaya-ungkap-kesalahan-26-pegawai-pajak-yang-dipecat-2077751].