Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

#BERITALITERASI #BERBAGIFAKTA #BERBAGIILMU

Tantangan Hukum Pajak di Era Ekonomi Digital : Kasus Pajak E-Commerce di Indonesia

Oleh: Sofwana Wafa Azkia M Mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Sosial dan Ekonomi Universitas Linggabuana PGRI Sukabumi


PERADMA.NET-Ekonomi digital telah merevolusi lanskap ekonomi dunia, termasuk di Indonesia. Aktivitas perdagangan yang sebelumnya didominasi oleh toko-toko fisik kini bergeser drastis ke platform online, yang dikenal sebagai e-commerce. Meskipun fenomena ini memberikan kemudahan dan mendorong ekspansi bisnis, ia juga menimbulkan celah signifikan dalam sistem perpajakan konvensional. Masalah aktual yang paling mencolok adalah bagaimana Pemerintah Indonesia, melalui perangkat hukum perpajakan yang tersedia, dapat menjamin bahwa transaksi dan pendapatan dari aktivitas e-commerce dikenai pajak dengan cara yang adil dan efisien.  Akar masalahnya ada pada karakteristik inheren ekonomi digital yang tak terbatas (borderless) dan tidak memerlukan keberadaan fisik (physical presence) yang substansial.

Aturan perpajakan tradisional, yang sangat mengandalkan konsep Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau lokasi fisik, menjadi kurang sesuai. Bagaimana entitas luar negeri yang menjual barang ke jutaan pelanggan di Indonesia melalui platform digital, tanpa memiliki kantor fisik di sini, dapat dikenai pajak penghasilan? Pentingnya topik ini sangat tinggi, karena jika tidak diatasi, risiko kehilangan pendapatan negara dari sektor yang terus tumbuh ini akan semakin besar, yang akhirnya dapat membebani wajib pajak konvensional.

Awalnya, perpajakan e-commerce di Indonesia hanya diatur secara sebagian. Pemerintah kemudian menanggapi tantangan ini dengan mengeluarkan kebijakan, yang paling penting adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48/PMK.03/2020. PMK ini mengadopsi konsep global dari OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) dan G20 tentang perpajakan ekonomi digital. Kebijakan ini menekankan pada konsep Kehadiran Ekonomi Signifikan (Significant Economic Presence/SEP).

Dalam istilah sederhana, SEP memungkinkan pemerintah untuk mengenakan Pajak Penghasilan (PPh) pada subjek pajak luar negeri (perusahaan e-commerce asing) yang tidak memiliki BUT tetapi memiliki aktivitas ekonomi yang signifikan di Indonesia (seperti volume transaksi atau pengguna yang melampaui batas tertentu). Selain PPh, tantangan juga muncul pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Melalui PMK yang sama, Pemerintah mewajibkan pengumpulan PPN atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar negeri yang dikonsumsi di Indonesia, seperti berlangganan streaming film, musik, atau perangkat lunak. Pemungut PPN-nya adalah Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

Penting untuk melihat fakta bahwa nilai transaksi e-commerce di Indonesia terus melonjak. Berdasarkan laporan terbaru, nilai transaksi e-commerce di Indonesia mencapai ratusan triliun Rupiah setiap tahun dan menjadikannya salah satu pasar digital terbesar di Asia Tenggara. Data ini menunjukkan potensi pendapatan pajak yang sangat besar yang tidak boleh diabaikan. Secara teori aturan perpajakan, kebijakan ini didasarkan pada Asas Sumber dan Asas Domisili. Asas Sumber menyatakan bahwa negara berhak mengenakan pajak atas pendapatan yang berasal dari wilayahnya, tanpa memandang domisili subjek pajak. Konsep SEP adalah pembaruan modern dari Asas Sumber yang disesuaikan dengan realitas ekonomi digital.

Dengan menunjuk PPMSE atau subjek pajak luar negeri sebagai pemungut, pemerintah memindahkan beban administratif perpajakan yang dalam teori administrasi pajak disebut pengumpulan pihak ketiga (third-party withholding) untuk memastikan efektivitas. Namun, penerapan PMK 48/2020 menghadapi tantangan faktual seperti ketidakstabilan jumlah perusahaan luar negeri yang ditunjuk sebagai pemungut PPN berfluktuasi, menunjukkan kompleksitas dalam mengidentifikasi, mendaftarkan, dan memastikan kepatuhan mereka.

Masalah Pelaksanaan Perpajakan PPh melalui skema SEP masih memerlukan harmonisasi lebih lanjut melalui penyesuaian Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan negara mitra. Jika tidak, akan timbul ketidakpastian hukum dan risiko pajak ganda.

Bagi Masyarakat, masyarakat merasakan adanya keadilan karena perusahaan global besar kini berkontribusi pada pendapatan negara, bukan hanya usaha kecil yang sudah patuh pajak. Peningkatan Harga, konsumen yang menggunakan layanan digital luar negeri (streaming, software) harus membayar PPN 11% (sejak 2022) yang berarti harga layanan tersebut naik.

Iklan
Klik disini menuju instagram @caturcerdascermat (les kelompok)

Bagi Ekonomi, kebijakan ini terbukti efektif dalam meningkatkan pendapatan negara dari PPN. Pendapatan PPN dari produk digital luar negeri hingga November 2023 telah mencapai triliunan rupiah. Dana ini krusial untuk membiayai infrastruktur dan pembangunan nasional. Kebijakan ini menciptakan netralitas pajak antara produk digital luar negeri dan produk dalam negeri. Tanpa PPN, produk asing akan lebih murah dan menciptakan persaingan tidak adil bagi pelaku usaha lokal yang sudah dikenai PPN. Kebijakan ini adalah langkah maju yang penting, tetapi harus terus diperbaiki agar tidak menimbulkan beban berlebih atau ketidakpastian hukum, khususnya bagi investor asing.

 

Kesimpulan dan Saran

Tantangan dalam bidang perpajakan pada masa ekonomi digital di Indonesia, terutama di sektor perdagangan elektronik, telah ditangani melalui penerapan konsep Kehadiran Ekonomi Signifikan (SEP) berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48 Tahun 2020. Kebijakan tersebut dianggap sesuai dan efisien untuk menghimpun Pajak Pertambahan Nilai dari barang digital luar negeri serta menjaga keseimbangan kompetisi bisnis domestik. Meski demikian, hambatan utama tetap ada pada penerapan Pajak Penghasilan untuk perusahaan asing dan mencapai stabilitas hukum di antara pembicaraan lintas negara.

Untuk meningkatkan efisiensi dan keadilan sistem, pemerintah disarankan agar mempercepat ulang negosiasi Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda guna mengintegrasikan konsep SEP, memperketat kontrol terhadap Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik lokal demi memastikan akurasi laporan data transaksi, serta terus menerapkan pendekatan global dari Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi, khususnya Pilar Satu (penetapan hak pajak) dan Pilar Dua (pajak minimum internasional). Langkah-langkah penyesuaian ini krusial untuk membangun sistem perpajakan yang antisipatif, tahan lama, dan optimal dalam memanfaatkan peluang ekonomi digital Indonesia.

 

 

 

Referensi

Undang-Undang Nomor 7 Tahun (2021) tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Direktorat Jenderal Pajak. (2023). Realisasi penerimaan PPN dari produk digital luar negeri.

Kajian Akademis. (2022) Terkait Implementasi Kehadiran Ekonomi Signifikan dalam Pemajakan Ekonomi Digital di Indonesia.

OECD. (2018). Tax challenges arising from digitalisation: Interim report. OECD Publishing.

Peraturan Menteri Keuangan. (2020) Nomor 48/PMK.03 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Penyetoran, dan Pelaporan