Perpajakan Pakan Ternak: Menimbang Keadilan, Kepastian Hukum, dan Dampaknya bagi Peternak Indonesia
oleh: Muhammad Sekhan El Hakim Mata Kuliah Hukum Pajak Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Sosial dan Ekonomi Universitas Linggabuana PGRI Sukabumi
PERADMA.NET-Sektor peternakan merupakan salah satu penopang penting ketahanan pangan nasional. Produk-produk seperti ayam, telur, daging sapi, dan susu merupakan kebutuhan harian masyarakat Indonesia dan menjadi bagian dari pemenuhan gizi nasional. Namun, di balik berbagai komoditas tersebut, terdapat satu komponen utama yang menentukan keberhasilan produksi, yaitu pakan ternak.
Dalam industri peternakan, pakan menyumbang 60–70% dari total biaya produksi, sehingga
sedikit saja perubahan harga pakan dapat berdampak besar pada biaya produksi dan pada
akhirnya berpengaruh pada harga jual produk peternakan di pasaran. Dalam konteks
tersebut, kebijakan perpajakan, terutama Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pakan ternak,
menjadi isu yang sangat strategis.
Sejak diberlakukannya UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
(UU HPP), pemerintah melakukan penyesuaian besar-besaran terhadap berbagai objek
PPN, termasuk barang kebutuhan pokok dan barang strategis. Pakan ternak, sebagai salah
satu komoditas yang erat kaitannya dengan kebutuhan dasar masyarakat, mengalami
beberapa perubahan status perpajakan dalam beberapa regulasi. Hal ini menimbulkan
kebingungan di kalangan pelaku usaha, peternak, produsen pakan, hingga konsultan pajak
dan aparat penegak hukum.
1. Kerangka Hukum Perpajakan Pakan Ternak di Indonesia
a. PPN dalam UU PPN dan UU HPP
Dasar hukum pemungutan PPN adalah:
UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN, yang terakhir diubah dengan
UU Nomor 7 Tahun 2021 (UU HPP).
PP Nomor 49 Tahun 2022 tentang Barang dan Jasa yang Dibebaskan dari PPN.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait barang strategis.
Dalam hukum pajak terdapat dua kategori penting:
1. Tidak dikenai PPN (Non-Objek PPN)
Barang ini tidak termasuk objek PPN. Pelaku usaha tidak memungut PPN dan kredit pajak
masukan tetap bisa dikreditkan.
2. Dibebaskan dari PPN (PPN DTP atau PPN Bebas)
PPN tidak dipungut, namun kredit pajak masukan tidak dapat dikreditkan.
Akibatnya, biaya produksi meningkat karena pajak masukan menjadi biaya.
Perbedaan kecil ini berdampak besar bagi industri pakan.
b. Status Pakan Ternak dalam Regulasi
Dalam beberapa periode, pakan ternak pernah:
dikategorikan sebagai barang tidak kena PPN,
kemudian berubah menjadi barang yang dibebaskan dari PPN,dan di beberapa aturan
teknis sempat masuk barang,yang dikenai PPN apabila jenisnya tidak termasuk daftar
strategis.
Menurut:
PP 49/2022 Pasal 1 dan Lampiran, pakan untuk hewan ternak termasuk barang yang
dibebaskan dari PPN sebagai “barang kebutuhan pokok tertentu”.
PMK 267/PMK.010/2015 (sebelum diperbarui) juga pernah menegaskan pakan ternak
sebagai barang strategis, sehingga PPN-nya ditanggung pemerintah atau dibebaskan.
Dengan dasar ini, pakan ternak umumnya dibebaskan dari PPN, tetapi tidak termasuk
kategori non-PPN, sehingga masih memunculkan persoalan teknis.
2. Mengapa Perpajakan Pakan Ternak Perlu Dievaluasi?
a. Pakan ternak adalah barang strategis
Pakan ternak merupakan bagian dari rantai produksi makanan masyarakat. Ketika pakan
dikenai PPN, harga produk turunan seperti ayam, telur, atau daging pasti meningkat. Ini
akan memengaruhi:
inflasi pangan,harga kebutuhan pokok,
stabilitas pasokan pangan.
Di negara agraris seperti Indonesia, kebijakan pajak seharusnya mendukung ketahanan
pangan.
b. Ketidakpastian regulasi mengganggu kepastian hukum
Prinsip kepastian hukum dijamin oleh:
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,
asas lex certa dalam hukum pajak.
Namun, status pakan ternak sering berubah antara “tidak kena PPN”, “dibebaskan dari
PPN”, dan “dapat dikenai PPN jika tidak memenuhi syarat”.
Akibatnya:
pelaku usaha bingung dalam menghitung kewajiban pajak,rentan terjadi pemeriksaan dan
sengketa pajak,terjadi biaya administrasi tambahan.
Ketidakpastian ini bertentangan dengan asas certainty yang menjadi dasar sistem pajak
modern.
c. Beban pajak mempengaruhi daya saing peternak
Jika pakan dikenai PPN, maka:
pabrik pakan tidak bisa mengkreditkanPPN masukan,
biaya produksi naik,
harga pakan naik,harga produk peternakan melonjak,peternak kecil makin tertekan.
Dalam banyak kasus, peternak kecil sulit menanggung kenaikan harga pakan karena margin
keuntungan mereka sangat tipis.
3. Perspektif Asas Hukum Pajak
Dalam teori hukum pajak dikenal beberapa asas penting:
1. Asas Keadilan (Equity)
Pajak harus memperhatikan kemampuan ekonomi wajib pajak. Membebani komoditas
strategis seperti pakan ternak berpotensi tidak adil, karena peternak adalah kelompok yang
ekonominya rentan.
2. Asas Kepastian Hukum (Certainty)
Aturan harus jelas, tidak berubah-ubah, dan dapat diterapkan tanpa interpretasi yang
berlebihan. Perubahan status PPN pakan ternak yang sering terjadi bertentangan dengan
asas ini.
3. Asas Kemudahan Administrasi (Convenience)
Semakin rumit aturan, semakin besar biaya administrasi yang dikeluarkan negara dan
pelaku usaha. Sistem perpajakan pakan yang tidak konsisten menambah biaya administrasi
secara signifikan.
4. Asas Efisiensi Ekonomi
Pajak tidak boleh menghambat produksi barang strategis. Ketika pajak menyebabkan biaya
pakan naik, maka efisiensi industri peternakan turun.
4. Dampak terhadap Industri dan Konsumen
a. Dampak bagi produsen pakan
Produsen pakan harus menanggung:
ketidakjelasan dalam mencatat PPN masukan,
risiko pemeriksaan dan sanksi,
hilangnya hak kredit pajak masukan karena status “dibebaskan”.
b. Dampak bagi peternak
Peternak adalah pihak yang paling terdampak. Harga pakan yang tinggi membuat mereka
kesulitan bersaing, terutama peternak mandiri atau UMKM.
c. Dampak bagi konsumen
Pada akhirnya konsumen merasakan kenaikan harga:
ayam potong,telur ayam ras,susu sapi,daging sapi.
5. Rekomendasi Kebijakan
1. Menetapkan pakan ternak sebagai barang Tidak Kena PPN secara permanen
Ini memberikan kepastian hukum dan menurunkan biaya produksi.
Dasarnya dapat diatur melalui revisi lampiran dalam PP 49/2022.
2. Harmonisasi seluruh bahan baku pakan
Mulai dari jagung, bungkil kedelai, premix, vitamin, mineral, hingga bahan impor—semua
harus diseragamkan perlakuan pajaknya.
3. Menyusun pedoman teknis (Juklak-Juknis) yang jelas
Termasuk definisi pakan, standar barang strategis, dan perlakuan pajak untuk produk campuran.
4. Evaluasi kebijakan menurut prinsip ketahanan pangan
Pajak tidak boleh menjadi faktor yang melemahkan kemampuan rakyat memperoleh protein hewani dengan harga terjangkau.
Kesimpulan
Perpajakan pakan ternak bukan sekadar persoalan teknis fiskal, tetapi memiliki implikasi
luas pada:
stabilitas harga pangan,kesejahteraan peternak,daya saing industri, dankepastian hukum.
Dengan menetapkan pakan ternak sebagai barang non-PPN secara permanen, pemerintah
dapat memberikan kepastian hukum yang lebih kuat dan mendukung ketahanan pangan
nasional. Kebijakan fiskal harus berpihak pada sektor strategis demi meningkatkan produksi
dan menekan inflasi pangan.
DAFTAR SUMBER REGULASI
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU
HPP).
2. UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN, beserta perubahan-perubahannya.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022 tentang Barang dan Jasa yang Dibebaskan
dari PPN.
4. PMK 267/PMK.010/2015 tentang Barang Strategis yang Dibebaskan dari PPN (sebagian
materi masih relevan secara historis).
5. UUD 1945 Pasal 28D ayat (1) tentang kepastian hukum.
6. Doktrin asas-asas hukum pajak (Adam Smith, modern tax doctrines)..