Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

#BERITALITERASI #BERBAGIFAKTA #BERBAGIILMU

Peralihan regulasi keuangan digital Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang PengembanganPenguatan Sektor Keuangan (UU P2SK)


Oleh : Muhamad Fariz A. Rojak Mata Kuliah Hukum Pajak Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Sosial dan Ekonomi Universitas Linggabuana PGRI Sukabumi

PERADMA--NET Peralihan regulasi keuangan digitalDengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan danPenguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), status aset kripto mengalami perubahan. Pemerintah dan OJK mengklasifikasikan kripto sebagai aset keuangan digital atau dipersamakan dengan
surat berharga, bukan lagi sebagai komoditas biasa. Karena itu, perlakuan perpajakan juga harus disesuaikan agar selaras dengan karakter aset keuangan.

Transisi pengawasan kripto dari Bappebti ke OJK Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2024, pengaturan dan pengawasan aset keuangan digital (termasuk kripto) dialihkan dari Bappebti ke OJK. Hal ini memperkuat dasar regulasi bahwa kripto berada dalam lingkup pasar keuangan formal, bukan semata pasar komoditas.

Kinerja penerimaan pajak dari kripto Berdasarkan data DJP hingga Januari 2025, penerimaan pajak dari transaksi kripto telah mencapai Rp 1,19 triliun, yang berasal dari penerimaan PPN dan PPh (Pasal 22) sebelumnya. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp 560,55 miliar berasal dari PPh Pasal 22, dan Rp 634,24 miliar dari PPN. Karena itu, pemerintah melihat perlunya penyederhanaan ketentuan, kepastian hukum, dan pengaturan yang meminimalisir duplikasi pungutan. Inti Ketentuan dalam PMK 50/2025 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 50 Tahun 2025 (PMK 50/2025menjadi payung baru pengaturan pajak atas transaksi aset kripto. Beberapa poin pokok yang diatur: Aspek Ketentuan Baru (PMK 50/2025) Keterangan / Catatan Status PPN atas penyerahan kripto Penyerahan aset kripto yang dipersamakan dengan surat berharga tidak dikenai PPN (Pasal 2 s.d. 9) Sebelumnya kripto dianggap barang kena pajak
tidak berwujud, sehingga dikenai PPN. PPh Pasal 22 atas transaksi kripto Transaksi kripto dikenai PPh Pasal 22 final (Pasal 10 s.d. 26)

Penghasilan penjual kripto akan dipotong saat transaksi berlangsung. Tarif PPh Pasal 22 final – transaksi domestik 0,21% dari nilai transaksi jika transaksi dilakukan melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalam negeri (PAKD) Tarif ini dinaikkan dibanding sebelumnya (0,1% atau 0,2%) Tarif PPh Pasal 22 final – transaksi luar negeri 1% final jika transaksi dilakukan melalui PPMSE luar negeri atau jika platform asing ditunjuk sebagai pemungut oleh DJP PPMSE luar negeri baru dapat menjadi pemungut jika ditunjuk formal oleh DJP, dengan memenuhi kriteria tertentu (traffic, volume transaksi) PPN atas jasa terkait kripto / transaksiJasa fasilitas elektronik (sarana transaksi), swap / pergantian, layanan dompet, penarikan, serta verifikasi transaksi oleh penambang tetap dikenai PPN. PPN atas jasa tersebut dikenakan berdasarkan “nilai lain” (11/12 dari penggantian/ imbalan) sebagaimana peraturan umum PPN. PPN atas jasa verifikasi (mining / penambang)PPN dikenakan atas jasa verifikasi transaksi oleh penambang kripto, tarif efektif 2,2% (20% × 11/12 dari nilai penggantian)

Penghasilan penambang (imbalan block reward, fee) juga akan dikenakan PPh (pada tarif umum) mulai tahun pajak 2026. PPh penambang – perubahan Mulai tahun pajak 2026, penghasilan penambang tidak lagi dipungut PPh dengan tarif final, melainkan dikenai tarif PPh umum dan harus dilaporkan di SPT Tahunan. Sebelumnya penambang dikenai PPh Pasal 22 final (misalnya 0,1%) atas imbalan yang diterima. Bukti potong / pungut & penyetoran PPMSE (platform) yang ditunjuk sebagai pemungut wajib membuat bukti potong/pungut dan menyetorkan PPh ke DJP melalui mekanisme SPT masa PPh unifikasi. Penyetoran dilakukan maksimal sesuai jadwal SPT masa; bukti potong harus mencantumkan identitas pihak terutang (NPWP / NIK) dan dasar pengenaan. PMK 50/2025 mulai berlaku 1 Agustus 2025. Perbandingan Aturan Lama vs Baru Aturan Lama (PMK 68/2022 & PMK 81/2024) Di bawah PMK 68/2022, transaksi kripto dikenakan PPN 0,11% atas penyerahan aset kripto, serta PPh final 0,1% bila melalui platform resmi, dan 0,2% bila melalui platform tak resmi. Dalam PMK 81/2024, ada penyesuaian administrasi sistem inti perpajakan, tetapi dasar tarif masih tetap mengacu pada PMK 68/2022. Karena itu, sebelum 1 Agustus 2025, pengguna kripto membayar PPN + PPh final dalam transaksi jual beli kripto melalui platform barter. Aturan Baru (PMK 50/2025) PPN dihapus atas penyerahan kripto (aspek konsumsi tidak dikenai PPN) Pemungutan pajak dialihkan ke PPh Pasal 22 final (tarif baru) Bagi jasa dan aktivitas terkait (platform, verifikasi, dompet, swap): tetap dikenakan PPN sesuai ketentuan umum. Untuk penambang, terdapat peralihan waktu pada pemungutan PPh tarif umum mulai 2026.
Contoh Perhitungan Pajak (Kasus Sederhana)
Misalnya:

Seorang penjual menjual aset kripto senilai Rp 100.000.000 melalui platform kripto domestik (PAKD) setelah PMK 50/2025 berlaku.Tarif PPh Pasal 22 final = 0,21% × Rp 100.000.000 = Rp 210.000 Karena PPN dihapus, tidak ada tambahan PPN yang harus dibayar pembeli atau penjual atas transaksi penyerahan aset itu sendiri.platform wajib memotong dan menyetor pajak tersebut ke DJP, serta memberikan bukti potong kepada penjual. Bila transaksi dilakukan melalui platform kripto luar negeri (belum ditunjuk sebagai pemungut) dengan nilai yang sama: Tarif PPh = 1% × Rp 100.000.000 = Rp 1.000.000 Penjual harus menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak tersebut sesuai ketentuan (karena platform asing tidak secara otomatis memotong). Untuk layanan swap (pertukaran antar kripto), meskipun penyerahan kripto itu sendiri tidak kena PPN, jasa fasilitas pertukaran dapat dikenakan PPN atas komisi atau imbalan yang diterima platform, dihitung berdasarkan nilai 11/12 dari penggantian. Untuk penambang, bila menerima imbalan (block reward) senilai Rp 10.000.000, mereka harus membayar PPN jasa verifikasi (tarif efektif ~2,2%) atas imbalan tersebut, dan penghasilan tersebut mulai 2026 akan dikenai PPh tarif umum (misalnya tarif progresif menurut UU PPh). Implikasi & Tantangan

1. Kepastian hukum & penyederhanaan
Salah satu tujuan PMK 50/2025 adalah memberikan kepastian bagi pengguna, platform, dan otoritas pajak — mengurangi kebingungan karena kombinasi PPN + PPh dengan banyak tarif sebelumnya.

2. Daya saing platform lokal vs asing
Dengan tarif PPh domestik (0,21%) jauh lebih rendah dibanding tarif bagi platform asing (1%), regulasi ini mendorong penggunaan platform kripto dalam negeri agar pengguna tidak membayar pajak lebih tinggi jika menggunakan bursa asing. Namun, efek sebaliknya bisa memicu upaya migrasi transaksi ke luar negeri jika pengguna merasa tarif luar negeri lebih murah (tergantung regulasi negara lain).

3. Kesiapan infrastruktur & administrasi
Platform kripto (PAKD / PPMSE) perlu meng-upgrade sistem pemotongan pajak, pembuatan bukti potong, integrasi dengan sistem DJP, dan laporan otomasi. DJP juga harus menjaga kepatuhan, audit transaksi lintas batas, serta menetapkan kriteria agar platform luar negeri bisa ditunjuk sebagai pemungut bila memenuhi syarat.

4. Transparansi & pembukuan
Investor dan penambang harus mencatat transaksi (harga beli, kos, imbalan) dengan baik agar penghitungan pajak sesuai. Pada masa transisi, sebagian pihak mungkin belum siap atau belum memahami implikasi tarif baru.5. Tahun 2026 dan penyesuaian lanjutan Karena penambang akan dikenai tarif PPh biasa mulai 2026, akan ada perubahan signifikan di beban pajak mereka — tergantung tarif progresif dan penghasilan total. Pemerintah juga mungkin melakukan perubahan teknis lebih lanjut (misalnya penyesuaian tarif, mekanisme penunjukan PPMSE asing, atau insentif tertentu) tergantung evaluasi implementasi. 

Kesimpulan

Perubahan pengaturan pajak atas aset kripto melalui PMK 50/2025 merupakan langkah penting dalam penyesuaian aturan fiskal terhadap perkembangan sektor keuangan digital di Indonesia. Dengan beralihnya status kripto dari komoditas trading menjadi aset keuangan digital, pemerintah menetapkan struktur pajak baru yang lebih selaras dengan fungsi aset tersebut. Aturan baru ini menghapus PPN atas penyerahan aset kripto, tetapi memperkuat pemungutan PPh Pasal 22 final dengan tarif berbeda untuk transaksi domestik (0,21%) dan transaksi melalui platform luar negeri (1%). Selain transaksi utama, layanan yang terkait kripto seperti dompet digital, swap, dan penambangan tetap dikenai PPN.

Regulasi ini juga menciptakan masa transisi bagi penambang, karena mulai tahun pajak 2026, penghasilan mereka dikenakan tarif pajak umum (bukan final), sehingga perlu pembukuan yang lebih akurat. Secara makro, kebijakan ini bertujuan memberikan kepastian hukum, simplifying compliance, meningkatkan penerimaan negara, serta memperkuat posisi platform kripto lokal di tengah kompetisi global. Namun, keberhasilan penerapannya akan sangat bergantung pada kesiapan infrastruktur, sosialisasi, kepatuhan pelaku industri, serta mekanisme pengawasan lintas batas
oleh DJP dan OJK.

Saran

1. Untuk Pemerintah / Otoritas Perlu memperkuat sosialisasi dan edukasi agar investor, platform, dan penambang memahami perubahan aturan.
2. DJP dan OJK perlu memastikan integrasi sistem digital berjalan baik untuk memudahkan pelaporan otomatis.
3. Perlu evaluasi berkala atas tarif dan aturan agar tetap kompetitif dengan yurisdiksi lain dan tidak memicu migrasi transaksi ke platform asing.
4. Untuk Platform Kripto (PPMSE/PAKD)
5. Segera melakukan penyesuaian sistem potong-setor pajak, integrasi API perpajakan, dan fitur bukti potong otomatis.
6. Meningkatkan transparansi biaya agar investor mengetahui komponen pajak secara jelas dalam setiap transaksi.
7. Menyiapkan fitur pendukung pelaporan pajak bagi pengguna (misalnya tax export report).

Untuk Investor / Pengguna

1. Perlu memahami struktur pajak baru agar dapat memperkirakan beban transaksi dan strategi investasi.
2. Disarankan menggunakan platform domestik karena tarif pajaknya lebih rendah.
3. Mulai melakukan pencatatan transaksi dengan baik, terutama menjelang pemberlakuan perubahan pajak penambangan di 2026.
4. Untuk Penambang Kripto
5. Mulai mempersiapkan pembukuan dan memahami mekanisme penghitungan pajak umum, bukan lagi final.
6. Pertimbangkan konsultasi pajak profesional jika penghasilan besar dan kompleks. 

Sumber Utama & Dan Referensi

PMK Nomor 50 Tahun 2025 — tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto
PMK Nomor 68 Tahun 2022 — aturan pajak kripto sebelumnya (PPN 0,11%, PPh final 0,1/0,2%)
PMK 81/2024 — regulasi inti administrasi perpajakan untuk aset digital & integrasi sistem (meskipun tidak mengubah tarif dasar)
Sumber Pemerintah / Resmi
Situs Direktorat Jenderal Pajak — siaran pers “Pemerintah Perkuat Pengaturan Pajak Aset Kripto”
Artikel “PMK 50/2025 dan Kaizen Fiskal” di situs pajak.go.id
JDIH Kemenkeu sebagai dokumen resmi PMK 50/2025
Media/Analisis Profesional
Hukumonline, artikel pembahasan PMK 50/2025 dan dampaknya
Klikpajak, panduan dan ilustrasi pajak kripto sebelum dan sesudah perubahan
DDTCNews, ulasan aspek teknis pemungutan PPh dan PPN terkait kripto
Ortax, analisis tarif baru serta implikasi ekonomi
Indodax blog, penyesuaian “all-in-fees” di bursa lokal sesuai PMK 50/2025
BeritaSatu, pendapat industri mendukung ekosistem kripto lokal terkait PMK baru
Antara News, respons OJK terhadap PMK 50/2025
Konsultan Pajak Surabaya, ringkasan aturan baru dan tarif PPh kripto
Tempo, rangkuman “apa yang perlu diketahui” atas PPN dihapus dan PPh dikenakan atas kripto