Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

#BERITALITERASI #BERBAGIFAKTA #BERBAGIILMU

Pajak Pendidikan: Perlukah Sekolah dan Pesantren Masuk Objek Pajak? Menganalisis Isu Sensitif Tentang Batas Antara Lembaga Nirlaba dan Kegiatan Ekonomi dalam Dunia Pendidikan.

Oleh : Rasti Nurliyawati Mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Sosial dan Ekonomi Universitas Linggabuana PGRI Sukabumi

 

Dalam beberapa tahun terakhir, wacana perpajakan terhadap lembaga pendidikan — sekolah swasta, pondok pesantren, maupun kursus/kegiatan pendidikan nonformal — kembali muncul ke permukaan publik. Di tengah upaya pemerintah meningkatkan penerimaan negara, ada usulan agar jasa pendidikan dikenakan pajak, termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Proposal ini memunculkan perdebatan sengit: apakah pendidikan — yang sejatinya merupakan layanan sosial dasar — pantas dijadikan objek pajak layaknya jasa komersial? Atau apakah pengecualian pajak terhadap pendidikan perlu dilestarikan demi keadilan sosial dan akses bagi seluruh masyarakat? Isu ini penting karena menyentuh hajat hidup orang banyak: akses terhadap hak pendidikan, keberlanjutan lembaga nirlaba, dan keadilan fiskal.Artikel ini akan menguraikan kerangka hukum perpajakan terhadap pendidikan di Indonesia, menganalisis pro dan kontra pengenaan pajak pada sekolah/pesantren, serta menawarkan pandangan kebijakan yang proporsional berdasarkan prinsip keadilan sosial dan ekonomi.

Hukum Pajak dan Pendidikan di Indonesia

Secara reguler, jasa pendidikan di Indonesia dikecualikan dari objek PPN. Menurut Direktorat Jenderal Pajak (DJP), jasa penyelenggaraan pendidikan — baik formal (sekolah) maupun nonformal — termasuk dalam kelompok jasa yang tidak dikenai PPN berdasarkan ketentuan di Undang‑Undang Nomor 42 Tahun 2009 (sebagai perubahan atas UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN) dan ketentuan pelaksananya.

Dengan demikian, selama jasa yang diberikan adalah “jasa pendidikan” sesuai definisi resmi — penyelenggaraan belajar-mengajar, kurikulum, pengajaran keagamaan atau umum, dan layanan serupa — maka secara hukum layanan tersebut bukan objek PPN.  Di sisi Pajak Penghasilan (PPh), lembaga nirlaba di bidang pendidikan (yayasan, pesantren, sekolah swasta nirlaba) juga memperoleh fasilitas khusus. Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2009 (yang kemudian digantikan oleh regulasi terbaru), surplus atau “sisa lebih” yang diperoleh lembaga nirlaba pendidikan tidak dikenai PPh sepanjang surplus tersebut dipergunakan untuk pengembangan pendidikan — misalnya membangun sarana/prasarana, beasiswa, atau reinvestasi dalam layanan pendidikan.

Regulasi ini bertujuan: memberikan insentif fiskal agar lembaga pendidikan tidak dibebani pajak dan dapat fokus pada misi sosial mereka — yakni menyelenggarakan pendidikan bagi masyarakat — bukan semata mencari laba.

Alasan utama pengecualian adalah bahwa pendidikan dianggap sebagai layanan sosial dan hak dasar warga negara, bukan komoditas biasa. Beban pajak pada pendidikan bisa menyebabkan biaya pendidikan naik — dan itu akan mengancam akses warga berpenghasilan rendah. DJP sendiri di masa lalu menegaskan bahwa pengecualian PPN terhadap jasa pendidikan adalah bagian dari komitmen negara dalam menyediakan layanan dasar.

Dokumen akademik juga menunjukkan bahwa pengecualian PPN terhadap jasa pendidikan memungkinkan pemerataan kesempatan, membantu menjaga biaya pendidikan tetap ramah di kantong, dan mendukung stabilitas sosial.

Demikian pula, fasilitas PPh terhadap surplus lembaga nirlaba memastikan bahwa keuntungan yang diperoleh (jika ada) tidak disalahgunakan sebagai mekanisme “pajak ringan” untuk lembaga komersial, melainkan benar-benar digunakan untuk tujuan pendidikan. Itulah mengapa regulasi memungkinkan keringanan pajak, asalkan surplus diarahkan untuk pengembangan pendidikan, bukan distribusi profit ke pemilik atau pengurus.

Tantangan dan Argumen untuk Pemajakan Pendidikan

Meski secara reguler pendidikan dikecualikan dari pajak, ada argumen kuat dari beberapa kalangan bahwa pengecualian ini tidak lagi adil atau tepat sasaran — terutama di era sekolah swasta “premium” dan lembaga pendidikan berbiaya tinggi.

Ketidakadilan Beban Pajak Berdasarkan Kemampuan Ekonomi, Menurut analisis di DJP, pengecualian PPN pada jasa pendidikan berlaku tanpa membedakan tingkat biaya pendidikan. Artinya, sekolah internasional atau sekolah swasta elit dengan biaya mahal mendapatkan perlakuan sama dengan sekolah dasar sederhana yang melayani masyarakat luas.

Hal ini dipandang tidak adil: masyarakat mampu yang mengirim anak ke sekolah mahal menikmati fasilitas pajak yang sama seperti masyarakat rentan ekonomi yang mengakses sekolah murah atau gratis. Berdasarkan prinsip “ability to pay” (kemampuan membayar), beban pajak terhadap pendidikan premium dianggap wajar untuk mendistribusikan beban fiskal kepada mereka yang lebih mampu.  Dengan pajak atas sekolah premium, hasilnya bisa dipakai untuk memperkuat fasilitas publik atau mendanai subsidi ke sekolah yang kurang mampu, sehingga membantu pemerataan pendidikan.

Potensi Penyalahgunaan Status Nirlaba — “Komersialisasi Pendidikan” Realitas menunjukkan bahwa banyak lembaga nirlaba pendidikan menjalankan unit usaha sampingan: bisnis kursus tambahan, kantin, penyewaan gedung, penerbitan buku, atau jasa di luar kegiatan pendidikan inti. Jika keuntungan dari aktivitas tersebut besar dan tidak digunakan untuk tujuan pendidikan, maka lembaga tersebut sejatinya beroperasi layaknya entitas bisnis komersial — tetapi tetap mengecap manfaat pajak nirlaba. Penelitian terhadap yayasan pendidikan mengungkap bahwa surplus atau “sisa lebih” dari unit usaha bisa berubah menjadi penghasilan kena pajak jika tidak dipergunakan sebagaimana ketentuan. Dengan demikian, pengecualian pajak bisa disalahgunakan sebagai celah komersialisasi terselubung — sesuatu yang merusak prinsip keadilan dan persaingan usaha.

Kebutuhan Negara akan Penerimaan Pajak vs. Pembiayaan Pendidikan Publik, Pendidikan merupakan sektor yang sangat membutuhkan dana besar — untuk infrastruktur, guru, beasiswa, subsidi, dan layanan ke masyarakat luas. Sementara itu, negara perlu meningkatkan penerimaan pajak untuk membiayai anggaran pendidikan nasional, termasuk program beasiswa, subsidi, dan pembangunan sekolah. Sejumlah pihak melihat bahwa memperluas objek pajak pada layanan pendidikan — khususnya yang bersifat premium atau komersial — bisa menjadi sumber penerimaan tambahan tanpa membebani masyarakat kurang mampu.

Namun, hal ini membutuhkan mekanisme seleksi dan regulasi yang jelas agar pemajakan tidak meredam akses pendidikan kelas menengah ke bawah, serta tidak menggagalkan peran lembaga nirlaba yang selama ini menjadi pelengkap layanan publik.

 

Perlukah Sekolah dan Pesantren Masuk Objek Pajak?

Berdasarkan landasan hukum, prinsip keadilan sosial, dan kondisi praktik saat ini, saya berpendapat bahwa tidak semua sekolah atau pesantren sebaiknya otomatis dikenai pajak — melainkan perlu pembedaan berdasarkan karakteristik dan orientasi lembaga.

Beberapa poin kunci dari analisis saya:

1. Pengecualian pajak pada layanan pendidikan tetap relevan untuk lembaga yang menjalankan misi sosial — melayani masyarakat luas, menyediakan akses inklusif, dan bukan semata mencari keuntungan. Lembaga jenis ini berperan penting dalam mewujudkan hak atas pendidikan.

2. Sekolah/pesantren elit atau komersial dengan biaya tinggi, serta lembaga pendidikan yang menjalankan unit usaha bisnis, sebaiknya dipertimbangkan untuk masuk objek pajak, terutama jika surplus atau keuntungan tidak sepenuhnya digunakan untuk reinvestasi pendidikan. Dengan demikian, prinsip keadilan fiskal dan persaingan usaha dapat dijaga.

3. Tata kelola transparan dan pelaporan keuangan wajib bagi lembaga nirlaba pendidikan — agar surplus, donasi, dan penerimaan lain dapat diaudit. Bila tidak cocok dengan definisi “nirlaba sosial”, maka fasilitas pajak tidak layak dipertahankan.

4. Pajak atas pendidikan elit bisa diarahkan sebagai subsidi silang — hasil pajak dari sekolah/pesantren komersial dapat dialokasikan untuk mendanai sekolah/pesantren yang melayani masyarakat berpenghasilan rendah, beasiswa, dan program publik lainnya. Ini akan mendukung pemerataan pendidikan.

5. Regulasi perlu bersifat selektif dan kontekstual — aturan pajak harus mempertimbangkan karakteristik lembaga (komersial vs sosial), skala, dan orientasi tujuan. Pemajuan pendidikan dan keadilan sosial tidak bisa dilepaskan dari upaya fiskal yang adil.

Kesimpulan dan Saran

Pendidikan adalah hak dasar warga negara dan pilar pembangunan manusia serta kemajuan bangsa. Oleh karena itu, layanan pendidikan yang bersifat sosial dan inklusif sebaiknya dikecualikan dari beban pajak, agar akses tidak terhambat terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Namun, di sisi lain, realitas menunjukkan bahwa tidak semua lembaga pendidikan layak diperlakukan sama: ada sekolah/pesantren elit dan komersial yang berbiaya tinggi, bahkan menjalankan unit usaha bisnis, sehingga pengecualian pajak bisa menjadi distorsi dan ketidakadilan.

Dengan demikian, perlu pendekatan kebijakan yang terbuka terhadap pemajakan, tetapi selektif dan berbasis kriteria: membedakan lembaga nirlaba sosial dari lembaga pendidikan komersial, mewajibkan transparansi dan pelaporan keuangan, serta menggunakan hasil pajak untuk mendukung pemerataan pendidikan.

Saya menyarankan agar pemerintah dan DPR — dalam pembahasan regulasi pajak — mempertimbangkan model “pajak progresif pendidikan”: mengecualikan pendidikan dasar dan menengah milik lembaga sosial/negara, sementara mengenakan pajak terhadap sekolah/pesantren elit/komersial di jenjang atas, dengan pengalihan surplus pajak untuk subsidi pendidikan publik.

Dengan cara ini, tujuan fiskal dan sosial dapat diseimbangkan: negara memperoleh penerimaan pajak tambahan dari layanan pendidikan premium, tanpa mengorbankan akses masyarakat kecil terhadap pendidikan berkualitas.

 

Referensi :

1. Direktorat Jenderal Pajak. (2025, April 29). Keberpihakan Pajak untuk Pendidikan. Retrieved from situs resmi DJP.

2. Direktorat Jenderal Pajak. PPN Jasa Pendidikan dan Rp550 Triliun Anggaran Pendidikan.

3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2009 tentang Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh Badan atau Lembaga Nirlaba dalam Bidang Pendidikan (dicabut dan direvisi oleh regulasi terbaru).

4. Saragih, L. I., Dikri, P., Wahyono, K. S., & Wijaya, S. (2022). Pajak Pertambahan Nilai Terhadap Jasa Pendidikan: Upaya Mendukung Pemerataan Pendidikan, Jurnal Pajak Indonesia, 6(2S), 674–680.

5. Optimalisasi pajak atas yayasan yang bergerak di bidang pendidikan: analisis terhadap sisa lebih dan pengenaan pajak (2021). Jurnal Pajak Indonesia.