Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

#BERITALITERASI #BERBAGIFAKTA #BERBAGIILMU

Pajak Naik, Kepercayaan Turun? Tantangan Besar Sistem Perpajakan Indonesia

 


Oleh : MUHAMMAD IHSANULKAMIL Mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Sosial dan Ekonomi Universitas Linggabuana PGRI Sukabumi

PERADMA.NET--Masih ingatkah kalian akan kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di sejumlah daerah yang memicu protes luas. Di Kabupaten Pati, rencana peningkatan tarif hingga 250 % membuat puluhan ribu warga turun ke jalan, kemudian dibatalkan tetapi keretakan kepercayaan sudah terjadi. Pajak, yang semestinya menjadi instrumen gotong-royong bagi pembangunan bersama, kini dianggap beban, terutama ketika komunikasi kebijakan lemah. Kasus ini mengingatkan bahwa di balik angka penerimaan, yang paling menentukan adalah legitimasi dan kepercayaan publik. Tanpa itu, upaya pemerataan dan pembangunan bisa berkurang yang menyebabkan konflik.

 

Tantangan Utama: Kesenjangan antara Kebijakan Pajak dan Kinerja Pemerintah

Ketegangan fiskal yang muncul dari kenaikan berbagai jenis pajak, termasuk PBB, mengungkap masalah yang lebih mendasar: adanya kesenjangan antara beban pajak yang dipikul masyarakat dan persepsi terhadap kinerja pemerintah. Banyak warga merasa bahwa meskipun kewajiban pajak terus meningkat, transparansi dan akuntabilitas pemerintah belum menunjukkan perbaikan signifikan. Penelitian mengenai kepatuhan pajak di Indonesia menunjukkan bahwa kepercayaan publik dan persepsi keadilan adalah faktor kunci yang memengaruhi kemauan masyarakat untuk patuh bukan semata besaran tarif. Ketika masyarakat tidak melihat hubungan jelas antara pajak yang dibayar dan kualitas layanan publik, rasa ketidakadilan pun tumbuh.

Di sisi lain, kasus-kasus penyalahgunaan wewenang, korupsi, atau manipulasi di lingkungan perpajakan meski tidak perlu disebut secara spesifik  telah mengikis legitimasi otoritas pajak. Sejarah reformasi pajak Indonesia menunjukkan bahwa birokrasi dan tata kelola yang lemah menjadi sumber kegagalan berbagai upaya reformasi pasca-1997. Ketika integritas aparat dipertanyakan, kebijakan apa pun mudah dipersepsikan sebagai beban, bukan solusi.

Masalah lain muncul dari komunikasi fiskal yang tidak efektif. Kebijakan kenaikan pajak sering disampaikan tanpa penjelasan manfaat, data pendukung, ataupun roadmap yang dapat meyakinkan publik bahwa beban tambahan tersebut sebanding dengan perbaikan layanan. Padahal UU HPP secara tegas menempatkan keadilan, kepastian hukum, dan peningkatan kepatuhan sukarela sebagai asas utama sistem perpajakan modern.

Ditambah dengan tekanan ekonomi  inflasi, stagnannya pendapatan, dan tingginya biaya hidup  resistensi publik terhadap kenaikan pajak menjadi semakin kuat. Kondisi ini menciptakan lingkaran sulit: pemerintah membutuhkan penerimaan lebih besar, tetapi masyarakat semakin ragu untuk memberi kepercayaan.

 

Dampak Kenaikan Pajak terhadap Kepercayaan Publik

Kenaikan pajak baik pusat maupun daerah tidak hanya menambah beban finansial, tetapi juga memengaruhi psikologi publik dan legitimasi pemerintah. Ketika masyarakat melihat kualitas layanan publik tidak sebanding dengan tingginya pungutan, persepsi ketidakadilan terbentuk. Wajib pajak kecil, termasuk UMKM dan rumah tangga berpendapatan rendah, sering merasa paling tertekan, sementara mereka menilai wajib pajak besar lebih mampu memanfaatkan celah regulasi atau insentif. Ketimpangan persepsi ini memperlemah rasa keadilan pajak, yang menurut penelitian berpengaruh kuat terhadap kepatuhan sukarela.

Menurunnya kepercayaan publik berdampak langsung pada turunnya voluntary tax compliance. Ketika kepatuhan lebih banyak didorong oleh ketakutan sanksi daripada kesadaran, sistem self-assessment yang sejak Reformasi Pajak 1983 menjadi fondasi utama perpajakan Indonesia kehilangan efektivitasnya. Sistem perpajakan Indonesia sendiri dirancang untuk mendorong partisipasi aktif warga, di mana wajib pajak menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri kewajibannya. Namun, sistem ini hanya dapat berjalan efektif jika tingkat kepercayaan terhadap otoritas tinggi.

Tekanan pajak yang meningkat juga mendorong sebagian masyarakat ke sektor informal. Ketika tarif dianggap tidak adil atau tidak transparan, menghindari sistem resmi dipandang lebih aman. Hal ini menciptakan distorsi ekonomi dan menggerus potensi penerimaan negara.

Dalam jangka panjang, menurunnya kepercayaan publik, naiknya sektor informal, dan melemahnya kepatuhan sukarela membuat target penerimaan pajak semakin sulit dicapai. Kegagalan ini akan berdampak pada stabilitas fiskal, menghambat pembangunan, serta memperlemah kemampuan pemerintah menjalankan kebijakan publik. Lingkaran negatif pun terbentuk: penerimaan rendah menurunkan kualitas layanan, yang kemudian semakin menurunkan kepercayaan.

Kesimpulan

Kenaikan pajak baik di tingkat pusat maupun daerah tidak dapat dipahami semata sebagai kebutuhan fiskal, tetapi sebagai kebijakan publik yang sangat dipengaruhi oleh persepsi keadilan dan tingkat kepercayaan masyarakat. Ketika kualitas layanan publik, transparansi, dan integritas aparatur belum sebanding dengan kenaikan beban pajak, timbul rasa ketidakadilan yang melemahkan kepatuhan sukarela. Padahal, penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan publik dan persepsi keadilan merupakan faktor utama yang mendorong kepatuhan pajak dalam sistem self-assessment Indonesia. Ketidakpercayaan yang semakin besar tidak hanya menurunkan efektivitas pemungutan pajak, tetapi juga meningkatkan risiko pelebaran sektor informal serta mengancam stabilitas fiskal jangka panjang. Dengan demikian, tantangan utama bukan pada tarif pajak itu sendiri, melainkan pada kredibilitas dan akuntabilitas kebijakan fiskal.

 

Saran

Sebagai saran, pemerintah perlu mengedepankan transparansi dan komunikasi fiskal yang lebih kuat, termasuk menjelaskan dasar perhitungan, manfaat publik, serta roadmap penggunaan pajak secara terukur. Penguatan akuntabilitas serta pemberantasan praktik koruptif di sektor perpajakan harus menjadi prioritas agar legitimasi kebijakan meningkat. Selain itu, perlu ada evaluasi menyeluruh terkait beban pajak bagi UMKM dan kelompok berpenghasilan rendah, agar tidak menimbulkan ketimpangan. Pemerintah juga perlu memperluas insentif bagi sektor produktif dan memperbaiki layanan publik secara nyata. Dengan pendekatan yang lebih partisipatif dan berkeadilan, kepercayaan masyarakat dapat dipulihkan, sehingga kepatuhan sukarela kembali menjadi pilar utama sistem perpajakan nasional.

 

Referensi :

1. Ariffin, Melissa, and Tunjung Herning Sitabuana. “Sistem Perpajakan Di Indonesia.” Prosiding Serina 2.1 (2022): 523-534.

2. Bawazier, Fuad. “Reformasi Pajak di Indonesia Tax Reform In Indonesia.” Jurnal Legislasi Indonesia 8.1 (2018): 1-28.

3. Damantara, Hernanda. “Gaduh Kenaikan PBB: Kebutuhan Alternatif Peningkatan Pendapatan Daerah.” Detik.com, 18 Aug. 2025, https://news.detik.com/kolom/d-8065976/gaduh-kenaikan-pbb-kebutuhan-alternatif-peningkatan-pendapatan-daerah

4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

5. Zainudin, Fardan Ma’ruf, Rahadi Nugroho, and Hanik Susilawati Muamarah. “Pengaruh Kepercayaan Kepada Pemerintah Terhadap Kepatuhan Pajak Dengan Persepsi Keadilan Pajak Sebagai Variabel Intervening.” Jurnal Pajak Indonesia (Indonesian Tax Review) 6.1 (2022): 107-121.