Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

#BERITALITERASI #BERBAGIFAKTA #BERBAGIILMU

Membangun Nalar Kepatuhan: Menggeser Paradigma Hukum Pajak dari Paksaan ke Kesadaran

oleh Rico Renaldi Mahasiswa Universitas Linggabuana PGRI Sukabumi 

I. Hukum Pajak: Pilar Imperatif yang Menuntut Evolusi

Pajak adalah denyut nadi pembiayaan negara. Di Indonesia, kedudukannya sangat sentral, diatur sebagai kontribusi wajib yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang (UU KUP, Pasal 1). Karakteristik inilah yang menjadikan hukum pajak termasuk dalam ranah Hukum Publik, mengatur hubungan vertikal antara penguasa (fiskus) dan rakyat (Wajib Pajak). Selama ini, otoritas fiskal cenderung mengandalkan sifat imperatif ini—didukung oleh Hukum Pajak Formal—sebagai senjata utama untuk mencapai target penerimaan. Namun, mengandalkan paksaan dan sanksi yang berlimpah, seperti denda, kenaikan, dan sanksi pidana, telah menciptakan hubungan yang dingin dan didasari rasa curiga antara fiskus dan Wajib Pajak. Dalam jangka panjang, pendekatan ini tidak berkelanjutan. Hubungan yang sehat harus berlandaskan kepatuhan sukarela (voluntary compliance), yang hanya dapat diwujudkan jika ada pergeseran fokus dari penegakan formal yang kaku menuju penanaman kesadaran atas Hukum Pajak Material yang adil dan transparan.

II. Kompleksitas Regulasi dan Beban Kepatuhan

Tantangan utama yang dihadapi oleh Wajib Pajak di Indonesia adalah kompleksitas regulasi yang tinggi dan dinamis. Reformasi pajak yang terus berjalan—terbaru melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP)—seharusnya menyederhanakan aturan, tetapi pada praktiknya, seringkali justru menambah lapisan interpretasi dan kewajiban administrasi. Ambil contoh ketentuan tentang Pajak Penghasilan (PPh) atau implementasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada ekonomi digital. Bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), meskipun diberikan insentif tarif final 0,5% (Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2022), kewajiban administrasi, pencatatan, dan pelaporan yang rumit tetap menjadi beban yang signifikan.

Seperti yang diungkapkan oleh Sinaga (2016), kerumitan ini seringkali memicu perlawanan pajak (tax resistance), baik pasif maupun aktif. Perlawanan pasif terjadi ketika WP memilih untuk tidak tahu atau menunda pemenuhan kewajiban karena merasa terintimidasi oleh kompleksitasnya, sementara perlawanan aktif berupa praktik penghindaran pajak (tax avoidance) yang semakin canggih, terutama dilakukan oleh Wajib Pajak badan besar yang memiliki akses ke konsultan pajak (Darussalam &
Kristiaji, 2017).

III. Erosi Kepercayaan dan Akuntabilitas Dana Publik

Asas pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Adam Smith, yaitu Asas Equality dan Asas Certainty, harusnya menjamin bahwa pajak dipungut secara adil dan berdasarkan undang-undang yang jelas. Namun, dimensi yang paling krusial dalam konteks Indonesia adalah kepercayaan dan akuntabilitas. Masyarakat rela membayar pajak jika mereka melihat adanya kontraprestasi yang tidak langsung berupa pembangunan infrastruktur, fasilitas publik yang memadai, dan pelayanan pemerintahan yang bersih. Sebaliknya, berita mengenai kasus penyalahgunaan wewenang, korupsi, atau gaya hidup mewah yang dipamerkan oleh oknum pejabat publik akan secara instan merusak pondasi kepercayaan tersebut. Hukum pajak tidak bisa dilihat secara terpisah. Ia terintegrasi dengan Hukum Administrasi Negara dan Hukum Pidana Korupsi. Jika penegakan hukum terhadap penyalahgunaan dana publik lemah, maka legitimasi moral pemerintah untuk menuntut kepatuhan pajak juga ikut tergerus. Wajib Pajak akan memandang bahwa uang yang mereka setor akan "bocor" atau tidak kembali dalam bentuk kesejahteraan yang proporsional, sebagaimana dikemukakan oleh Soemitro (2011) tentang asas penggunaan hasil pajak.

IV. Jalan Menuju Kepatuhan Berbasis Kesadaran

Untuk membangun nalar kepatuhan yang sehat dan berkesinambungan, diperlukan reformasi di tiga pilar: 

Penyederhanaan dan Digitalisasi: Otoritas pajak harus terus menyederhanakan formulir, mengurangi birokrasi tatap muka, dan memaksimalkan sistem digital yang terintegrasi. Digitalisasi harus menjadi alat untuk mempermudah, bukan membebani. Sistem harus dirancang untuk meminimalkan potensi kesalahan dan intervensi manusia.

Edukasi Etika Fiskal: Edukasi perpajakan harus dimulai sejak dini—bukan sekadar pelatihan teknis, melainkan penanaman etika dan kesadaran kewarganegaraan. Pajak harus dipahami sebagai perwujudan gotong royong dan tanggung jawab sosial. Waluyo dan Ilyas (2017) menekankan bahwa pendekatan edukatif ini adalah investasi jangka panjang untuk menciptakan generasi WP yang sadar. Transparansi Anggaran dan Penegakan Hukum: Pemerintah wajib meningkatkan transparansi alokasi dan penggunaan dana publik (fungsi budgetair). Pada saat yang sama, penegakan hukum terhadap penggelapan pajak (tax evasion) harus dilakukan secara adil dan tegas tanpa pandang bulu. Penegakan yang adil akan meningkatkan rasa keadilan horizontal dan vertikal, sekaligus memberikan efek jera (Aruan, 2017). Penutup Hukum pajak di Indonesia berdiri di persimpangan jalan: terus mengandalkan pemaksaan yang melelahkan atau bertransformasi menuju kemitraan yang didasari kepercayaan. Mengingat sifat pajak yang inheren pada pembangunan, pilihan terbaik adalah yang kedua. Dengan mereformasi sistem agar lebih adil, sederhana, transparan, dan didukung oleh penegakan hukum yang berintegritas, kepatuhan Wajib Pajak akan berubah dari keharusan yang ditakuti menjadi kesadaran kolektif yang dibanggakan.

Referensi
Aruan, A. G. (2017). Implementasi Hukum Pajak Dalam Pembangunan Nasional. Jurnal Hukum & Pembangunan, 47(1), 32-50.
Darussalam & Kristiaji, B. (2017). Konsep dan Prinsip Perpajakan Indonesia. DDTC. 
Sinaga, N. A. (2016). Hukum Pajak dan Permasalahan dalam Pemungutan Pajak. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, 7(1), 142-157.
Soemitro, R. (2011). Asas dan Dasar Perpajakan. Bandung: PT Eresco.
Waluyo & Ilyas, B. (2017). Perpajakan Indonesia: Edisi 13. Jakarta: Salemba Empat.