Keadilan Fiskal di Tengah Kenaikan Tarif PPN 12%: Tantangan bagi UMKM dan Negara
Oleh: Pradipta Alfiandy Rizki Mahasiswa Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Fakultas Sosial dan Ekonomi Universitas Linggabuana PGRI Sukabumi
Pendahuluan
Kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025 kembali menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) menegaskan bahwa penyesuaian tarif ini merupakan bagian dari reformasi fiskal nasional untuk memperkuat penerimaan negara, memperluas basis pajak, dan mengurangi ketimpangan.
Di atas kertas, kebijakan ini tampak logis. Penerimaan pajak adalah tulang punggung pembiayaan pembangunan, sementara tingkat rasio pajak Indonesia masih di bawah 12% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh di bawah rata-rata negara ASEAN. Namun, kebijakan tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)—sektor yang selama ini menyerap lebih dari 97% tenaga kerja dan menyumbang 61% terhadap PDB nasional (DJP, 2024).
Kenaikan tarif pajak sebesar satu poin persentase mungkin terlihat kecil, tetapi dampaknya bisa berantai terhadap harga, daya beli, dan kelangsungan usaha kecil. Di sinilah muncul pertanyaan penting: apakah sistem perpajakan kita sudah cukup adil dalam membagi beban antara pelaku usaha besar dan kecil? Dan sejauh mana kebijakan PPN 12% mencerminkan semangat keadilan fiskal dan sosial ekonomi yang diamanatkan konstitusi?
Konteks Hukum dan Tujuan Kenaikan Tarif
Secara hukum, dasar kenaikan tarif PPN terdapat pada Pasal 7 ayat (1) UU HPP, yang memberi kewenangan bagi pemerintah untuk menyesuaikan tarif antara 5%–15% sesuai kebutuhan fiskal negara. Tujuan utamanya adalah memperkuat penerimaan dalam negeri dan menyeimbangkan beban pajak antara sektor formal dan informal.
Menurut Suryanto (2023), reformasi pajak seperti ini harus dipahami dalam kerangka keadilan fiskal—yakni keseimbangan antara kemampuan ekonomi wajib pajak dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari pengelolaan pajak. Prinsip ini ditegaskan pula dalam Pasal 23A UUD 1945, yang menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
Namun, dalam praktiknya, hukum pajak yang bersifat memaksa sering kali belum disertai mekanisme kompensasi yang melindungi kelompok ekonomi lemah. Ketika pajak naik tanpa insentif yang memadai, maka tujuan keadilan bisa berubah menjadi beban struktural. Inilah yang menjadi sumber keresahan bagi pelaku usaha kecil dan masyarakat berpendapatan rendah.
Dampak Ekonomi: Antara Rasionalitas Fiskal dan Realitas UMKM
Secara ekonomi, PPN adalah pajak tidak langsung yang dibebankan kepada konsumen akhir. Artinya, setiap kenaikan tarif PPN secara teoritis akan meningkatkan harga jual barang dan jasa. Berdasarkan penelitian Hariani (2024), setiap kenaikan 1% tarif PPN dapat menaikkan harga barang konsumsi sebesar 0,3–0,5%, tergantung pada elastisitas permintaan.
Efek domino ini paling terasa pada sektor kebutuhan pokok dan industri rumah tangga—bidang yang didominasi UMKM. Ketika biaya bahan baku naik dan harga jual tidak bisa dinaikkan terlalu tinggi karena daya beli masyarakat stagnan, margin keuntungan pelaku usaha pun menyempit. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa memicu pengurangan tenaga kerja dan melemahkan daya saing UMKM lokal.
Selain itu, kenaikan PPN 12% juga membawa tantangan administratif. Menurut Uun & Anselmus (2025), sebagian besar pelaku UMKM belum siap dengan sistem digitalisasi pajak nasional seperti e-Faktur, e-Filing, dan Core Tax Administration System. Masalahnya bukan hanya pada literasi digital, tetapi juga keterbatasan akses internet dan perangkat yang memadai, terutama di daerah. Akibatnya, kebijakan yang dimaksudkan untuk memudahkan administrasi pajak justru berpotensi menjadi beban baru bagi usaha kecil.
Sementara itu, penelitian dalam Jurnal Jembatan Hukum (2025) menunjukkan bahwa keberhasilan reformasi pajak bergantung pada kemampuan negara menyeimbangkan antara efisiensi fiskal dan keadilan sosial. Artinya, setiap perubahan kebijakan harus diiringi dengan kebijakan pendukung—seperti subsidi pelatihan digital, insentif usaha kecil, dan transparansi pengelolaan penerimaan pajak.
Keadilan Pajak: Antara Prinsip Hukum dan Nilai Sosial
Dari sudut pandang hukum, pajak di Indonesia berfungsi ganda: fungsi budgeter (mengumpulkan penerimaan negara) dan fungsi regulerend (mengatur perilaku ekonomi). Dalam kerangka ini, pajak seharusnya bukan hanya alat memaksa warga negara berkontribusi, tetapi juga sarana pemerataan kesejahteraan.
Menurut Dwihantoro (2022), keadilan dalam hukum pajak tidak berarti setiap orang dikenakan tarif yang sama, tetapi beban yang proporsional dengan kemampuan ekonominya. Dalam konteks PPN, sifatnya yang regresif—karena memungut pajak dalam persentase sama dari setiap transaksi—menyebabkan kelompok berpenghasilan rendah menanggung beban relatif lebih besar.
Di sinilah prinsip “ability to pay” (kemampuan membayar pajak) perlu ditegakkan. Negara seharusnya membedakan kebijakan antara korporasi besar yang menikmati skala ekonomi dengan pelaku usaha mikro yang berjuang menjaga arus kas harian.
Selain aspek ekonomi, Hanum (2004) dalam penelitiannya menegaskan bahwa rendahnya kepatuhan pajak di Indonesia berakar pada rendahnya kepercayaan publik. Masyarakat cenderung patuh jika merasa pajak yang dibayarkan benar-benar kembali dalam bentuk pelayanan publik yang adil dan transparan. Oleh karena itu, setiap reformasi pajak harus dibarengi dengan peningkatan akuntabilitas dan keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara.
Dari perspektif ideologis, nilai keadilan sosial dalam Pancasila juga menjadi landasan moral kebijakan pajak. Pajak tidak hanya soal hukum dan angka, tetapi tentang bagaimana negara menjamin kesejahteraan warganya. Jika kenaikan tarif justru memperlebar jurang sosial, maka esensi keadilan fiskal belum tercapai.
Solusi dan Rekomendasi Kebijakan
Untuk menjembatani kesenjangan antara idealisme fiskal dan realitas sosial ekonomi, beberapa langkah kebijakan berikut perlu dilakukan:
1. Literasi dan Pendampingan Pajak bagi UMKM. Pemerintah harus memperluas program edukasi pajak, terutama di daerah, melalui pelatihan berbasis komunitas dan kerja sama dengan perguruan tinggi. Sosialisasi harus menggunakan pendekatan praktis agar pelaku UMKM memahami manfaat kepatuhan pajak, bukan hanya kewajibannya.
2. Insentif dan Perlindungan Fiskal untuk UMKM. Pemerintah dapat memberikan potongan tarif PPh Final bagi UMKM, menaikkan ambang batas Pengusaha Kena Pajak (PKP), serta memberi fasilitas pembebasan sementara bagi usaha mikro yang baru beradaptasi dengan sistem digital perpajakan.
3. Evaluasi Tahunan terhadap Dampak Kenaikan Tarif. Setiap kenaikan tarif PPN perlu dievaluasi secara berkala untuk menilai dampaknya terhadap inflasi, daya beli, dan kinerja sektor riil. Pendekatan berbasis data ini penting agar kebijakan fiskal tetap adaptif terhadap dinamika ekonomi.
4. Pembangunan Infrastruktur Digital yang Merata. Implementasi sistem Core Tax Administration harus diiringi dengan penyediaan infrastruktur digital di seluruh wilayah, agar pelaku usaha di daerah tidak tertinggal dalam kewajiban administrasi pajak.
5. Transparansi Penggunaan Dana Pajak. Pemerintah perlu memperkuat laporan publik terkait penggunaan dana pajak. Ketika masyarakat melihat hasil nyata dari kontribusinya—seperti infrastruktur, layanan pendidikan, dan kesehatan—maka kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan akan meningkat.
Kesimpulan
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% merupakan langkah logis dari sisi fiskal dan hukum, namun implementasinya menghadirkan dilema antara stabilitas penerimaan negara dan beban ekonomi masyarakat kecil. UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi justru paling rentan terhadap perubahan ini.
Kebijakan pajak yang berkeadilan seharusnya tidak hanya fokus pada peningkatan penerimaan, tetapi juga memastikan kesejahteraan rakyat kecil tetap terjaga. Pajak memang bersifat memaksa, tetapi pelaksanaannya harus mencerminkan rasa keadilan, transparansi, dan keberpihakan terhadap masyarakat lemah.
Dalam semangat Pasal 23A UUD 1945 dan nilai Pancasila, kebijakan pajak yang ideal bukan yang memberatkan, tetapi yang mendistribusikan beban secara proporsional dan hasilnya kembali untuk kepentingan rakyat. Reformasi pajak sejati bukan sekadar menaikkan angka, tetapi membangun sistem fiskal yang transparan, partisipatif, dan berkeadilan sosial bagi seluruh warga negara Indonesia.
Daftar Pustaka
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 23A.
- Direktorat Jenderal Pajak. (2024). Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pajak 2024.
- Suryanto, R. (2023). Reformasi Pajak di Indonesia: Dampak dan Tantangan. Jakarta: Penerbit Yosua.
- Hariani, A. (2024). Analisis Pengaruh Perubahan PPN 12% terhadap Kepatuhan Wajib Pajak UMKM. Jurnal Pajak Indonesia, 9(1), 55–67.
- Uun, N. & Anselmus, A. (2025). Dampak Kenaikan PPN 12% terhadap Pengusaha dan Sistem Core Tax di Indonesia. Jurnal Ilmu Akuntansi dan Pajak, 2(2), 16–29.
- Hanum, A. N. (2004). Permasalahan Pajak Indonesia. Jurnal Value Added, 2(1), 1–7.
- Dwihantoro, T. (2022). Pajak Digital dan Keadilan Fiskal: Analisis Implikasi Hukum terhadap UMKM. Jurnal Ekonomi dan Pajak, 33(2), 144–160.
- Jembatan Hukum. (2025). Kebijakan Fiskal dan Keadilan Sosial di Era Reformasi Pajak. Jurnal Hukum dan Ekonomi Nasional, 2(2), 18–24.