Isu Gaji di Bawah Rp10 Juta Bebas Pajak: Mitos atau Realitas dalam Hukum Pajak Indonesia?
Oleh: Zikry Salsabila zikriasalsabila111@gmail.com Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Sosial dan Ekonomi Universitas Linggabuana PGRI Sukabumi
PERADMA.NET-Isu mengenai gaji di bawah Rp10 juta per bulan yang bebas pajak sering menjadi bahan diskusi hangat di kalangan masyarakat. Banyak orang percaya bahwa penghasilan bulanan di bawah angka tersebut tidak dikenai Pajak Penghasilan
(PPh) 21, sehingga dianggap sebagai "mitos" atau "realitas" tergantung pada interpretasi hukum.
Dari sudut pandang hukum pajak Indonesia, isu tersebut tidak sepenuhnya benar.
Isu ini tidak bisa dilepaskan dari terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 10 Tahun 2025, yang mengatur pemberian insentif Pajak Penghasilan
(PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP). Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis: apakah kebijakan ini merupakan realitas hukum atau sekadar mitos yang
dibentuk oleh penyederhanaan informasi di media.
Analisis Dinamika Isu Gaji di Bawah Rp10 Juta
Dalam praktik perpajakan Indonesia, besarnya pajak yang harus dibayar seseorang
Dalam penerapan pajak di Indonesia, jumlah pajak yang dibayarkan oleh individu tidak langsung diukur berdasarkan pendapatan bulanan, melainkan melalui
Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang dihitung dari total pendapatan tahunan dikurangi biaya jabatan serta Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Saat ini, PTKP untuk tax payer perorangan adalah sebesar Rp54 juta per tahun, dengan tambahan untuk mereka yang menikah atau memiliki tanggungan, sehingga bataspenghasilan yang bebas pajak sekitar Rp4,5 juta per bulan.
Bantuan pengurangan pajak menurut PMK No. 10 Tahun 2025 ditujukan bagi
individu yang menerima pendapatan dari pekerjaan, termasuk karyawan di sektor swasta, PNS, dan pekerja freelance dengan gaji maksimal Rp10 juta per bulan,
asalkan pendapatan tahunan tidak melebihi PTKP. Kebijakan ini tidak mencakup pemilik bisnis atau pendapatan dari investasi.
Untuk memenuhi syarat, pendapatan harus termasuk dalam objek PPh Pasal 21,
wajib pajak perlu melaporkan SPT tahunan dengan benar, dan tidak boleh ada tambahan seperti bonus yang melampaui batas. Prosesnya mencakup
penghitungan total pendapatan tahunan, dikurangi biaya jabatan sebesar 5% (max Rp6 juta), dibandingkan dengan PTKP; jika berada di bawahnya, tarif adalah 0%;
jika melebihi, akan dikenakan tarif progresif. Pelaporan dilakukan melalui e-filing dan akan diverifikasi oleh DJP. Singkatnya, ini bukan penghapusan pajak, tetapi
pengalihan tanggung jawab kepada pemerintah selama tahun 2025.
Tinjauan dari Perspektif Hukum Pajak
Dalam hukum pajak Indonesia, pemungutan pajak harus sesuai dengan asas
legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945. Tidak ada pajak tanpa undang-undang, dan tidak ada pembebasan pajak tanpa dasar hukum yang jelas.
PMK Nomor 10 Tahun 2025 adalah peraturan menteri, yang secara hierarki
berada di bawah undang-undang. Oleh karena itu, PMK tidak dapat mengubah substansi pengenaan pajak, melainkan hanya mengatur pelaksanaan teknis yang
telah didelegasikan oleh undang-undang.
Dengan demikian, dari sudut pandang hukum, isu “gaji di bawah Rp10 juta bebas
pajak” secara umum dalah mitos, karena hukum positif Indonesia tidak menetapkan batas tersebut sebagai batas bebas pajak permanen. Namun, dalam
konteks insentif PMK 10/2025, klaim tersebut dapat dianggap realitas terbatas bagi kelompok pekerja tertentu.
Dampak terhadap Masyarakat dan Perekonomian
Isu ini memiliki dampak yang besar baik dari segi sosial maupun ekonomi. Di
kalangan masyarakat, banyak pekerja merasa ragu mengenai apakah potongan PPh 21 dari gaji mereka sudah sesuai dengan peraturan, sehingga banyak yang
merasa dirugikan ketika tetap dikenakan potongan meskipun gaji mereka di bawah Rp10 juta tanpa menyadari bahwa mereka tidak memenuhi syarat untuk
mendapatkan insentif. Bagi perusahaan, kesalahpahaman ini meningkatkan risiko terjadinya kesalahan administratif dan sanksi pajak jika fasilitas tersebut
diterapkan dengan tidak benar; sebaliknya, jika diterapkan dengan benar dapat meningkatkan kesejahteraan karyawan melalui gaji bersih yang lebih tinggi. Dari sudut pandang pemerintah, kebijakan PPh 21 DTP bertujuan untuk menjaga daya beli dan stabilitas ekonomi, namun informasi yang salah yang beredar dapat
menurunkan kepatuhan pajak, mengganggu penerimaan negara, dan menghalangi program pembangunan.
Kesimpulan dan Saran
Isu mengenai "gaji di bawah Rp10 juta tidak dikenakan pajak" umumnya
merupakan anggapan keliru dalam hukum perpajakan di Indonesia, karena sistem perpajakan tetap berlandaskan pada PTKP dan PKP. Namun, dalam situasi
tertentu, hal ini dapat menjadi sebagian kenyataan melalui insentif PMK No. 10 Tahun 2025, yang memungkinkan pemerintah menanggung PPh 21 untuk
sejumlah pekerja tertentu.
Pemerintah perlu meningkatkan komunikasi dengan publik untuk menjelaskan
perbedaan antara pembebasan pajak permanen dan insentif yang bersifat sementara. Media dan materi edukasi pajak harus berhati-hati dalam penggunaan
istilah "bebas pajak" agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Perusahaan seharusnya memberikan pembelajaran internal kepada karyawan
mengenai pemotongan pajak serta pemanfaatan insentif. Dengan pemahaman yang benar, masyarakat dapat memenuhi kewajiban pajaknya dengan adil, sadar,
dan sesuai dengan hukum.
Referensi
- Republik Indonesia. (1945). Indonesia Tahun 1945, Pasal 23A. Undang-Undang Dasar Negara Republik
- Republik Indonesia. (2008). Pajak Penghasilan. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
- Republik Indonesia. (2021). Harmonisasi Peraturan Perpajakan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang .
- Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2025). Keuangan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2025 tentang Pajak Peraturan Menteri
- Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) Direktorat Jenderal Pajak. (2024). Pedoman Teknis Pemotongan PPh Pasal 21 . Jakarta: DJP.
- Mardiasmo. (2019). Perpajakan Edisi Terbaru. Yogyakarta: ANDI