Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

#BERITALITERASI #BERBAGIFAKTA #BERBAGIILMU

Dampak Penerapan Pajak di Coffeshop Terhadap Perilaku Konsumsi Gen Z

Oleh : Mawarrifa Zalianti Mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Sosial dan Ekonomi Universitas Linggabuana PGRI Sukabumi

PERADMA.NET-Budaya "ngopi" di Indonesia telah mengalami perubahan, tidak hanya sekadar untuk mendapatkan kafein melainkan juga sudah menjadi elemen penting dalam cara hidup, khususnya bagi Generasi Z. Kedai kopi modern berfungsi sebagai tempat bersosialisasi, di mana individu dapat bertemu dan mengekspresikan diri. Dengan pesatnya perkembangan industri ini, pemerintah daerah mulai menerapkan pajak terhadap makanan dan minuman yang ditawarkan.Di Indonesia, pajak untuk layanan makanan dan minuman di kedai kopi termasuk dalam kategori Pajak Daerah, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pajak yang dulunya dikenal sebagai Pajak Restoran atau PB1, kini resmi disebut sebagai Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) untuk Makanan dan/atau Minuman. Penerapan pajak ini menjadi elemen signifikan yang mempengaruhi total harga yang perlu dibayar oleh konsumen.

Pajak Coffeshop : Analisis Hukum dan Dampaknya

Penerapan perpajakan di coffeshop Indonesia diatur oleh berbagai peraturan, termasuk Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang memungkinkan pemerintah daerah mengenakan pajak restoran atau hiburan sebesar 10%. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 juga mengubah tarif PPN menjadi 12% yang mulai berlaku pada tahun 2025, hal ini berpotensi mempengaruhi harga barang di coffeshop. Kerangka hukum ini penting karena coffeshop umumnya dianggap sebagai usaha yang bergerak di bidang jasa, sehingga pajak jasa langsung berpengaruh pada harga akhir barang, seperti makanan dan minuman, dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dan mengendalikan konsumsi yang berlebihan. Pajak tersebut diterapkan karena untuk mengendalikan konsumsi, analisisnya yakni dalam Pasal 4 UU PPN menyatakan bahwa penjualan makanan dan minuman dikenai PPN, kecuali seperti bahan pokok, sehingga harga kopi naik 11-12% yang bisa dianggap sebagai “pajak konsumsi” untuk mengurangi kebiasaan nongkrong berjam-jam. Bukti nyata dari penerapan pajak tersebut ialah dari studi Bank Indonesia (2022) menunjukkan bahwa pajak konsumsi dapat menurunkan permintaan barang non-esensial hingga 5-10%.

Hubungan Hukum Pajak dan Fenomena Terkini

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang telah diganti oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) mengatur dan menetapkan pajak seperti salah satunya pajak restoran. Pajak ini dikenakan kepada para pembeli akhir, yang artinya peningkatan total harga kopi dan makanan yang dibeli merupakan hasil langsung dari tarif pajak yang ditentukan oleh pemerintah daerah, kenaikan tarif pajak ialah 10% dan biaya layanan biasanya berkisar antara 5-10% yang menyebabkan konsumen harus menanggung biaya sekitar 15%-20% lebih tinggi dibandingkan harga yang tertera di menu. Pada masa kini, minum kopi dapat menjaga agar tubuh tetap berenergi dan terjaga. Di sisi lain, fakta mengenai kedai kopi sebagai bagian dari gaya hidup semakin jelas dengan kemajuan zaman, di mana kedai kopi kini berfungsi sebagai tempat bersosialisasi, berkumpulnya generasi muda, tempat rapat yang nyaman, serta lokasi makan dengan hidangan cepat saji. Masyarakat dapat menikmati kopi sambil bersantai dan nongkrong dengan teman-teman. Kebiasaan ini terlihat pada banyak orang yang menghabiskan waktu luang dan uangnya dengan menikmati kopi di kedai kopi, menjadikannya bagian dari gaya hidup. Situasi ini dimanfaatkan oleh produsen dan pemasar untuk mengembangkan bisnis kopi, seiring dengan pergeseran fungsi kedai kopi yang kini tidak hanya sekadar menawarkan kopi, tetapi juga menciptakan suasana yang menarik (estetika). Kopi kini telah menjadi salah satu minuman yang banyak digemari di Indonesia. Dari kalangan remaja hingga orang tua, banyak yang menyukai minuman hitam dengan rasa pahit ini. Hal ini tentunya meningkatkan konsumsi kopi di dalam negeri.

Dampak Kebijakan Pajak Bagi Masyarakat (Gen-Z)

Dampak dari regulasi pajak ini jelas memiliki sisi positif dan negatif, sebagai berikut. 
A. Dampak Positif
  1. Dorongan Inovasi dan Kesadaran Berkelanjutan
    Pajak yang seragam mendorong restoran untuk berinovasi, seperti mengadopsi model dapur awan atau menawarkan menu vegan/berkelanjutan yang banyak diminati oleh generasi Z. Laporan McKinsey (2024) mencatat bahwa 45% generasi Z lebih mengutamakan makanan yang etis, sehingga pajak ini dapat mempercepat pergeseran ke bisnis yang ramah lingkungan dan menciptakan peluang kerja baru untuk mereka.

  2. Manfaat Sosial dari Pendapatan Daerah
    Uang pajak digunakan untuk meningkatkan infrastruktur digital, pendidikan, atau layanan kesehatan, yang bermanfaat bagi generasi Z, misalnya akses internet cepat atau program beasiswa. Di daerah dengan tarif rendah (minimal 0%), hal ini dapat menarik investasi dari startup kuliner yang dipimpin oleh generasi Z, yang mendorong kreativitas dan kewirausahaan.

  3. Perilaku Konsumsi Lebih Bijak
    Pajak ini mendorong generasi Z untuk memilih pilihan yang lebih hemat atau lokal, mengurangi pemborosan dan mendorong kebiasaan makan yang sehat, yang sejalan dengan tren kesadaran biaya dan lingkungan di antara mereka.
B. Dampak Negatif

  1. Peningkatan Biaya Konsumsi
    Pajak ini menambah harga makanan dan minuman di kafe serta restoran, sehingga membuat biaya makan menjadi lebih tinggi. Sebuah survei dari Nielsen (2023) menunjukkan bahwa 60% generasi Z di Indonesia lebih memilih layanan pengantaran untuk efisiensi, tetapi pajak tambahan ini dapat menurunkan frekuensi penggunaan layanan tersebut, membebani anggaran mereka yang sering kali terbatas oleh penghasilan dari pekerjaan gig atau entry-level.

  2. Pengurangan Aksesibilitas
    Pajak ini menambah harga makanan dan minuman di kafe serta restoran, sehingga membuat biaya makan menjadi lebih tinggi. Sebuah survei dari Nielsen (2023) menunjukkan bahwa 60% generasi Z di Indonesia lebih memilih layanan pengantaran untuk efisiensi, tetapi pajak tambahan ini dapat menurunkan frekuensi penggunaan layanan tersebut, membebani anggaran mereka yang sering kali terbatas oleh penghasilan dari pekerjaan gig atau entry-level. Secara keseluruhan, dampak pajak restoran tampaknya lebih merugikan dalam jangka pendek bagi konsumsi harian generasi Z, namun memberi manfaat dalam jangka panjang lewat inovasi dan keuntungan sosial, tergantung pada pelaksanaannya di daerah. Jika tarif dapat disesuaikan dengan insentif (misalnya, diskon untuk restoran yang ramah lingkungan), dampaknya bisa jadi lebih seimbang. Data ini berdasarkan survei terbaru; untuk rincian yang lebih spesifik mengenai daerah tertentu, silakan periksa peraturan setempat.
Kesimpulan dan Saran

Penerapan pajak di coffeshop, baik melalui Pajak Daerah (PBJT Makanan/Minuman) maupun PPN secara langsung memengaruhi harga yang dibayar oleh konsumen, termasuk Generasi Z yang merupakan pelanggan utama. Pajak ini berfungsi sebagai alat bagi pemerintah untuk meningkatkan pendapatan daerah dan sekaligus membatasi konsumsi yang tidak penting. Dampaknya memiliki dua sisi yakni di satu sisi, pajak merangsang inovasi dalam bisnis, keberlanjutan, dan memberikan manfaat sosial melalui pendanaan publik di sisi lain, pajak juga menambah beban biaya konsumsi, mengurangi akses, dan mengurangi frekuensi pembelian untuk Gen Z yang biasanya memiliki anggaran terbatas. Dengan demikian, penerapan pajak di coffeshop memberikan dampak ekonomi dan sosial yang signifikan tergantung pada konteks, tinggi tarif, dan reaksi konsumen. Pemerintah lokal sebaiknya menerapkan sistem pajak yang lebih adil dan mempertimbangkan memberikan insentif kepada para pelaku usaha agar beban tidak jatuh kepada konsumen. Di sisi lain, pelaku usaha
coffeshop perlu melakukan berbagai inovasi melalui strategi penentuan harga, penawaran paket hemat, dan meningkatkan transparansi biaya agar tetap dapat bersaing

Referensi :

  1. Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang telah diganti menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah (HKPD).
  2. Azzahra, M., Abdurahman, A. I., & Alamsyah, A, (2023). Jurnal Fenomena Ngopi di Coffe Shop Pada Gen Z. Social Science Academic, 1(2), 493-506.
  3. Kementrian Keuangan Republik Indonesia (2023). “Laporan Keuangan Negara, bagian Pajak Daerah tentang kontribusi Pajak Restoran.
  4. Kayla Izaura. (2025). “Harga Kopi Naik karena PPN 12%, Gen Z Mulai Hitung hitungan.” Kumparan.
  5. Siaahan, A. L. S. (2023). Menelaah Kenaikan Tarif PPN 11% di Indonesia. Indonesia Journal of Business Law, 2(1), 24-28.