Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

#BERITALITERASI #BERBAGIFAKTA #BERBAGIILMU

BUKAN SEKADAR ANCAMAN: PENYITAAN ASET DI KPP SUKABUMI, UJIAN NYATA PENEGAKAN HUKUM PAJAK

oleh Adelia putri syabila Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Sosial dan Ekonomi Universitas Linggabuana PGRI Sukabumi


Pajak merupakan elemen penting untuk kemajuan suatu negara. Di Indonesia, sistem perpajakan menggunakan model self-assessment, yang mengharuskan wajib pajak untuk secara mandiri menghitung, membayar, dan melaporkan pajak mereka. Namun, jika kepatuhan yang bersifat sukarela tidak terpenuhi, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berfungsi sebagai perwakilan negara untuk menegakkan hukum yang berlaku.

Baru-baru ini, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Sukabumi menarik perhatian publik dengan melakukan serangkaian tindakan penyitaan terhadap aset dari wajib pajak yang menunggak. Tindakan ini, yang sering dipandang sebagai suatu cara menakut-nakuti, sebenarnya merupakan ujian sejati bagi konsistensi dan integritas penegakan hukum perpajakan di Indonesia, menunjukkan bahwa ancaman penagihan aktif tidak hanya sekadar ancaman belaka.

Dari Surat Teguran Hingga Surat Paksa: Prosedur Hukum yang Tegas

Penyitaan harta tidak dilakukan tanpa pertimbangan. Ini adalah hasil dari rangkaian langkah-langkah penagihan yang diatur dalam Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP). 

Sebagaimana dijelaskan dalam studi yang berfokus pada KPP Pratama Sukabumi, prosedur penagihan dimulai dengan langkah-langkah persuasif, seperti penerbitan Surat Teguran. Jika wajib pajak tidak memberikan tanggapan, Surat Paksa yang memiliki kekuatan hukum setara dengan keputusan pengadilan yang telah inkracht akan diterbitkan (Bangsa dan Ismatullah, 2021).

Penyitaan merupakan langkah berikutnya, di mana Juru Sita Pajak Negara (JSPN) secara langsung mengambil alih aset dari penanggung pajak (PP) sebagai jaminan untuk melunasi utang pajak (UU No. 19 Tahun 2000). Harta yang dapat disita mencakup properti, kendaraan, hingga rekening bank.

Studi Kasus KPP Sukabumi: Dampak Jera yang Nyata

Tindakan penagihan yang aktif oleh KPP Pratama Sukabumi telah diumumkan secara resmi. Dalam salah satu kasus, KPP Sukabumi mengambil alih aset berupa sepeda motor milik wajib pajak yang sudah tidak menunjukkan niat baik untuk menyelesaikan utang pajaknya (DDTC News, 2024).

Kepala KPP Pratama Sukabumi berharap bahwa langkah ini dapat memberikan efek jera dan menjadi teladan bagi para penunggak pajak lainnya (DDTC News, 2024). Langkah ini menegaskan dua poin penting:
Konsistensi Hukum: DJP menunjukkan bahwa semua utang pajak akan ditindaklanjuti dengan sistematis.
Transparansi: Penyitaan yang diumumkan mengirimkan pesan tegas bahwa kepatuhan merupakan keharusan, bukan sekadar pilihan.Selain KPP Sukabumi, aset di area Sukabumi juga pernah disita oleh KPP dari daerah lain, yang mencerminkan adanya sinergi dalam penegakan hukum antar wilayah untuk memastikan penerimaan negara (DJP, 2023).

Perspektif Keadilan: Penyitaan sebagai Pengujian Kepatuhan

Dari sudut pandang akademik, penyitaan aset menjadi indikator seberapa efektif penegakan hukum pajak berjalan. Penelitian hukum menunjukkan bahwa tindakan penyitaan berfungsi sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dalam menjaga keadilan bagi wajib pajak yang telah mematuhi peraturan.
Apabila pemerintah tidak mengambil sikap tegas terhadap para penunggak, maka keadilan bagi wajib pajak yang taat akan terganggu. Oleh sebab itu, keberhasilan penyitaan yang dilakukan oleh KPP Sukabumi tidak hanya diukur dari jumlah utang yang terlunasi, tetapi juga dari kemampuannya untuk mendorong kepatuhan wajib pajak secara menyeluruh di masa mendatang.

Kesimpulan dan Saran

Penyitaan aset oleh KPP Pratama Sukabumi adalah bentuk nyata dari penerapan hukum perpajakan, bukan sekedar ancaman. Tindakan ini merupakan sebuah tes nyata bagi DJP, menegaskan bahwa negara berkomitmen untuk melindungi pendapatan pajak dan menjamin keadilan bagi wajib pajak yang patuh. Langkah tegas ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan disiplin dalam kepatuhan pajak, dimana penyitaan harta berperan sebagai peringatan terakhir bagi masyarakat untuk memenuhi kewajiban sebelum tindakan hukum diambil.

Sebagai saran, untuk memaksimalkan efek positif ini dan menyelaraskannya dengan prinsip keadilan yang diterapkan, diusulkan agar DJP mengambil langkah-langkah proaktif, seperti menjangkau wajib pajak yang terlambat membayar lebih awal dan menawarkan pilihan seperti pembayaran cicilan sebelum melakukan penyitaan. 

REFERENSI:
1. Bangsa, K. Z. P., & Ismatullah, I. (2021). ANALISIS PENERAPAN PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA DALAM MENINGKATKAN PENERIMAAN PAJAK STUDI KASUS PADA KANTOR KPP PRATAMA SUKABUMI. Jurnal AJAR, 4(1), 19-27.
2. DDTC News. (2024, 23 Agustus). Tak Kunjung Lunasi Utang Pajak, Sepeda
Motor WP Akhirnya Disita KPP.
3. Direktorat Jenderal Pajak (DJP). (2023, 27 Juni). Pajak Gambir Tiga Sita Aset
Penunggak Pajak di Sukabumi.
4. Huda, N., & Fitriana, S. (2022). Kekuatan Hukum Tindakan Penyitaan dalam
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Jurnal Hukum dan Pembangunan, 52(2),
252-270.
5. Jurnal Kritis Studi Hukum. (2023). Analisis Penyitaan Aset oleh KPP Pratama
Magelang kepada Wajib Pajak yang Memiliki Utang Pajak.
6. Wardani, A. K., & Susanto, R. (2020). Pengaruh Tindakan Penagihan Pajak
terhadap Kepatuhan Wajib Pajak. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, 22(1), 88-
102.