Mengapa Kasus Pajak harus Viral Dulu Baru Ditangani? Mengupas Fenomena ‘No Viral No Justice
PERADMA.NET — Beberapa waktu lalu, jagat media sosial diramaikan dengan kasus pajak seorang influencer ternama. Mulai dari gaya hidup mewah hingga dugaan penghindaran pajak, semua menjadi sorotan. Namun, yang lebih menarik adalah, kasus ini baru mencuat setelah viral dan memicu kemarahan publik. Pertanyaannya, mengapa aparat pajak seolah ‘kecolongan’? Mengapa kasus-kasus seperti ini tidak terdeteksi sejak awal, sebelum menjadi bola liar di media sosial? Fenomena ini bukan kali pertama terjadi. Kita seringkali melihat kasus-kasus pajak yang melibatkan tokoh publik atau perusahaan besar baru ditangani setelah menjadi viral. Seolah-olah, keadilan hanya bisa ditegakkan jika ada tekanan dari netizen. Inilah ironi yang kita hadapi: sebuah fenomena bernama ‘no viral no justice’ yang mencoreng wajah hukum pajak di Indonesia. Artikel ini akan menelusuri lebih dalam fenomena ini, mengupas tuntas akar masalahnya, serta mencari solusi yang lebih efektif dan berkelanjutan. Kita akan membahas bagaimana peran media sosial dalam mengungkap kasus-kasus pajak, serta mengapa sistem pengawasan dan penegakan hukum kita masih jauh dari ideal. Siapkah Anda untuk menyelami lebih dalam dunia ‘no viral no justice’ dalam konteks perpajakan di Indonesia?
Ai Nurjanah Mahasiswi UNLIP PGRI
Hubungan Hukum Pajak dengan Fenomena “No Viral No Justice”
Hukum pajak pada dasarnya dirancang untuk memberikan kepastian, keadilan, dan keteraturan dalam pengelolaan penerimaan negara. Undang-Undang KUP, peraturan turunannya, hingga amanat Pasal 23A UUD 1945 menegaskan bahwa setiap proses pemungutan, pemeriksaan, dan penegakan hukum harus berjalan sesuai prosedur, bukan berdasarkan tekanan sosial. Namun, dalam praktiknya muncul fenomena “No Viral No Justice”, yaitu kondisi ketika suatu kasus pajak baru ditangani serius setelah viral di media sosial.
Klik gambar untuk mendapatkan solusinya
Fenomena ini menunjukkan adanya kesenjangan antara idealitas hukum pajak yang seharusnya bertumpu pada kepastian dan mekanisme formal dengan realitas penegakan di lapangan, yang sering kali bergantung pada sorotan publik. Artinya, hukum pajak yang normatif dan prosedural ternyata belum mampu sepenuhnya menjawab tuntutan transparansi, sehingga publik menggunakan ruang digital sebagai alat kontrol tambahan untuk memastikan keadilan berjalan.
Analisis Berdasarkan Fakta, Data, dan Teori Hukum Pajak
Fenomena viralnya kasus pajak di media sosial sebenarnya mencerminkan masalah yang nyata di lapangan. Misalnya, kasus pejabat pajak di Jakarta Utara yang ketahuan hidup mewah dengan koleksi mobil mewah dan rumah mewah baru mendapat perhatian dan tindakan serius setelah heboh di media sosial. Langkah cepat seperti audit LHKPN, mutasi jabatan, dan evaluasi internal muncul karena tekanan publik yang besar. Hal yang sama juga terjadi pada banyak UMKM di wilayah Bekasi yang mengeluhkan perlakuan tidak adil lewat TikTok dan Instagram, baru didengar setelah video dan keluhan mereka viral. Data dari Ombudsman dan survei menunjukkan kepercayaan masyarakat terhadap instansi pajak masih naik turun, sementara ribuan pegawai pajak pernah dikenai sanksi disiplin. Ini jelas menandakan kepercayaan publik belum sepenuhnya pulih, sehingga viral di media sosial menjadi cara efektif untuk menuntut keadilan dan transparansi.
Viralnya isu pajak di media sosial bukan sekadar tren, melainkan cerminan dari harapan masyarakat akan transparansi dan keadilan. Kekuatan fiskus yang besar tanpa akuntabilitas memicu publik mencari saluran alternatif untuk bersuara. Ketidaksetaraan perlakuan antara wajib pajak kecil dan besar memicu amarah, menjadikan media sosial sebagai pengadilan opini. Lebih dari itu, lambat dan berbelitnya proses hukum membuat masyarakat melihat viral sebagai jalan pintas untuk mendapatkan kepastian yang seharusnya dijamin oleh negara.
Dampak terhadap Masyarakat dan Perekonomian
Kalau kasus pajak harus viral dulu baru ditindak, dampaknya bukan cuma soal berita heboh di media sosial, tapi juga terasa nyata bagi masyarakat dan ekonomi kita.
Masyarakat jadi kehilangan kepercayaan pada aparat pajak karena merasa penegakan hukum tidak adil dan hanya berjalan kalau ada sorotan publik. Akibatnya, banyak yang malas bayar pajak karena merasa sistemnya tidak fair.
Dari sisi ekonomi, ketidakpastian ini bikin pelaku usaha bingung dan ragu berinvestasi. Kalau kebijakan pajak atau penindakan tiba-tiba berubah karena tekanan viral, bisnis jadi susah merencanakan masa depan. Ini bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi lapangan kerja.
Selain itu, kalau penanganan kasus pajak terlambat, negara bisa rugi besar akibat penghindaran pajak dan korupsi yang tidak tertangani. Uang yang seharusnya dipakai untuk pembangunan dan layanan publik jadi berkurang, sementara persaingan usaha jadi tidak sehat.
Intinya, viral jadi “alarm” bukan solusi. Pemerintah harus lebih transparan, cepat, dan adil dalam menangani kasus pajak supaya kepercayaan masyarakat kembali pulih dan ekonomi bisa tumbuh dengan baik. Kalau tidak, kita semua yang rugi.
Kesimpulan
Fenomena “No Viral No Justice” dalam penegakan hukum pajak adalah cerminan dari ketidakpercayaan publik terhadap sistem yang seharusnya menjamin kepastian dan keadilan. Hukum pajak yang ideal, dengan segala prosedur dan mekanismenya, ternyata belum mampu menjawab tuntutan transparansi dan akuntabilitas. Akibatnya, media sosial menjadi arena alternatif bagi masyarakat untuk menuntut keadilan, meskipun hal ini menimbulkan dampak negatif bagi kepercayaan publik dan stabilitas ekonomi.
Saran:
Pemerintah perlu berbenah diri secara menyeluruh. Bukan hanya sekadar menindaklanjuti kasus yang viral, tetapi juga membangun sistem pengawasan dan penegakan hukum yang transparan, akuntabel, dan responsif. Tingkatkan kualitas sumber daya manusia di bidang perpajakan, perbaiki sistem pelaporan dan pengaduan, serta libatkan masyarakat dalam pengawasan. Jadikan viral sebagai momentum untuk reformasi, bukan sekadar pemadam kebakaran sesaat. Dengan begitu, kepercayaan publik akan pulih, kepatuhan pajak meningkat, dan ekonomi dapat tumbuh dengan sehat dan berkelanjutan.
Referensi :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 23A.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
Sari, R. N., & Martias, D. (2020). Pengaruh keadilan pajak, sistem perpajakan, dan sanksi perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak. Jurnal Akuntansi, 9(1), 1–15.
Kompas.com. (2023, Maret 15). Kasus pajak Rafael Alun Trisambodo, Sri Mulyani copot jabatan hingga audit kekayaan.
https://www.kompas.com/tren/read/2023/03/01/110558965/kasus-pajak-rafael-alun-trisambodo-sri-mulyani-copot-jabatan-hingga-audit CNN Indonesia. (2023, Maret 8). Sri Mulyani ungkap 13.800 aduan soal pajak yang masuk ke Kemenkeu.
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230308141952-532-922089/sri-mulyani-ungkap-13800-aduan-soal-pajak-yang-masuk-ke-kemenkeu
Mengupas Analisis Ai Nurjanah, Mahasiswa PPKN UNLIP PGRI Sukabumi
