Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

#BERITALITERASI #BERBAGIFAKTA #BERBAGIILMU

Kenaikan PPN 2025: Solusi Tunggal atau Ada Jalan Lain?

Oleh: Nitaya Utama Mahasiswi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Linggabuana PGRI Sukabumi


Pemerintah Indonesia telah memutuskan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai Januari 2025. Langkah ini dianggap strategi untuk memperkuat penerimaan negara dan menjaga keseimbangan fiskal. Namun, muncul pertanyaan: apakah kenaikan tarif PPN ini satu-satunya jalan untuk menambah kas negara? Ataukah ada alternatif lain yang lebih adil dan tidak membebani rakyat?


Mengapa PPN Naik?

Kenaikan tarif PPN diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pemerintah menargetkan kenaikan ini akan meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan. Di tengah kebutuhan belanja negara yang terus membengkak untuk pendidikan, infrastruktur, dan perlindungan sosial, kenaikan PPN dianggap sebagai opsi cepat untuk mengamankan APBN.

Namun, penting disadari bahwa PPN adalah jenis pajak regresif. Artinya, tarifnya sama untuk semua kalangan, tanpa melihat tingkat pendapatan. Berbeda dengan Pajak Penghasilan (PPh) yang progresif, PPN justru berpotensi lebih membebani kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.


Alternatif 1: Perluasan Basis Pajak, Merata dan Adil

Salah satu alternatif yang sering diajukan adalah memperluas basis pajak. Ini berarti, alih-alih menaikkan tarif pajak yang sudah ada, negara berupaya memperluas jumlah orang atau badan yang membayar pajak secara adil. Data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan formal wajib pajak di Indonesia masih relatif rendah. Banyak individu dan perusahaan, terutama di sektor informal dan ekonomi digital, belum tersentuh sistem perpajakan secara optimal.

Dengan meningkatkan sosialisasi, pengawasan, dan kemudahan pelaporan pajak, jumlah pembayar pajak aktif bisa melonjak. Ini tentu akan berdampak positif bagi penerimaan negara tanpa perlu membebani mereka yang sudah patuh membayar pajak. Terlebih lagi, jika kelompok dengan potensi kontribusi besar yang selama ini "tersembunyi" bisa dimasukkan ke dalam sistem, maka keadilan fiskal akan lebih tercapai.


Alternatif 2: Efisiensi Anggaran dan Reformasi Belanja Negara

Selain memperluas basis pajak, langkah penting lainnya adalah efisiensi anggaran. Pengeluaran negara harus diarahkan secara efektif dan tepat sasaran. Reformasi birokrasi, pemangkasan anggaran tidak produktif, serta penghapusan program-program dengan dampak minim bisa menjadi sumber "penghematan" yang signifikan.

Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam beberapa tahun terakhir masih mencatat adanya penyimpangan dalam penggunaan anggaran di sejumlah kementerian dan lembaga. Ini menunjukkan bahwa tantangan fiskal tidak selalu tentang kurangnya penerimaan, melainkan juga masalah pengelolaan pengeluaran. Dengan efisiensi anggaran, negara bisa mengurangi tekanan kebutuhan penerimaan dan menghindari opsi menaikkan pajak konsumsi.


PPN dan Kepatuhan Pajak: Dua Sisi Berbeda

Pendekatan menaikkan PPN tidak serta-merta menjamin peningkatan penerimaan pajak secara drastis. Dalam praktiknya, jika daya beli masyarakat turun akibat beban konsumsi yang lebih tinggi, maka transaksi juga bisa menurun. Hal ini justru kontraproduktif terhadap tujuan awal peningkatan pendapatan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah menyampaikan bahwa strategi meningkatkan penerimaan pajak sebaiknya tidak hanya berfokus pada kenaikan tarif, tapi juga pada penguatan kepercayaan dan kepatuhan masyarakat (Kompas, 2023). Artinya, pendekatan kebijakan yang berfokus pada kesadaran, transparansi, dan insentif kepatuhan akan jauh lebih sehat bagi sistem perpajakan jangka panjang.


Arah Kebijakan Pajak yang Lebih Adil

Pajak idealnya bersifat adil secara vertikal dan horizontal. Artinya, orang yang punya kemampuan lebih harus membayar lebih banyak (vertikal), dan orang dengan kemampuan sama dikenai pajak setara (horizontal). Menaikkan tarif PPN tidak sepenuhnya sejalan dengan prinsip ini, karena semua orang, terlepas dari tingkat penghasilan, membayar tarif yang sama untuk barang dan jasa.

Sebagai negara yang menjunjung asas keadilan sosial, Indonesia seharusnya mempertimbangkan kembali pendekatan fiskal yang terlalu bertumpu pada pajak konsumsi. Kebijakan perpajakan semestinya juga memberi ruang bagi masyarakat bawah untuk tumbuh tanpa tekanan berlebih, terutama dalam konteks pemulihan pascapandemi dan tantangan ekonomi global.


Kesimpulan: Prioritaskan Keadilan Sosial

Kenaikan PPN menjadi 12% memang sah secara hukum dan punya tujuan strategis untuk memperkuat APBN. Namun, kebijakan ini sebaiknya bukan menjadi pilihan utama tanpa mempertimbangkan opsi lain. Perluasan basis pajak dan efisiensi belanja negara adalah dua strategi alternatif yang bisa menghasilkan dampak fiskal positif tanpa membebani masyarakat luas.

Iklan Shopee Diskon 50%

Jika pemerintah mampu mendorong kepatuhan pajak, memberantas penghindaran pajak korporat besar, serta mengelola anggaran dengan lebih bijak, maka kenaikan PPN bisa ditunda atau bahkan tidak diperlukan sama sekali. Kebijakan fiskal bukan hanya soal angka, tapi juga tentang keberpihakan pada keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.


Referensi:

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
  2. Kompas. (2023). Sri Mulyani: Menaikkan Tarif Bukan Satu-satunya Cara Meningkatkan Penerimaan Pajak.
  3. DJP Kemenkeu. (2024). Statistik Penerimaan dan Kepatuhan Pajak Nasional.
  4. BPK RI. (2023). Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2023.